Panggilan Kebapaan - Henri Nouwen

Tak pernah dalam hidup ini saya bermimpi bahwa pria dan wanita cacat mental akan menjadi orang-orang yang meletakkan tangan memberkati dan menawarkan rumah kepada saya. Bertahun-tahun saya mencari keamanan dan keselamatan di antara orang-orang bijak dan pandai. Saya hampir tidak menyadari bahwa Kerajaan justru di nyatakan kepada "anak kecil", bahwa "yang bodoh bagi dunia, dipilih oleh Allah untuk memalukan orang berhikmat".

Ketika saya menerima kehangatan, ketulusan mereka yang tak punya apa-apa untuk dibualkan, dan mengalami pelukan cinta dari orang-orang yang tidak pernah bertanya sedikitpun, saya mulai menemukan bahwa kepulangan rohani berarti kembali kepada mereka yang miskin rohani, yang justru memiliki kerajaan sorga. Pelukan sang bapa menjadi sangat nyata bagi saya dalam pelukan orang-orang yang miskin secara mental........

Orang-orang cacat mental tidak punya apa-apa, sehingga mereka juga tak akan kehilangan apa-apa juga. Dengan tulus mereka menunjukkan kepada saya siapa diri mereka. Dengan terbuka mereka mengungkapkan cinta atau juga ketakutan mereka, keramahan maupun kekecewaan mereka. Hanya dengan tampil apa adanya, mereka menembus pertahanan saya yang paling canggih dan menuntut agar saya juga terbuka kepada mereka. Cacat mereka menyingkapkan cacat saya. Kekecewaan mereka menyingkapkan kekecewaan saya. Kerapuhan mereka menunjukkan kerapuhan saya juga. Dengan memaksa saya menghadapi "anak sulung" yang ada di dalam diri saya, komunitas L'Arche membuka jalan pulang untuknya. Orang-orang cacat mental menyambut saya di rumah dan mengundang saya untuk berpesta, juga memaksa saya menghadapi diri saya yang belum bertobat dan menyadarkan saya perjalanan masih jauh.

Sementara penemuan-penemuan itu menghantam kehidupan saya secara mendalam, anugerah terbesar dari komunitas L,Arche adalah tantangan untuk menjadi seorang bapa. Bertahun-tahun menjadi seseorang yang lebih tua dari sebagian besar anggota komunitas dan menjadi gembala mereka, rasanya wajar jika saya memikirkan diri saya sebagai seorang bapa. Karena tahbisan saya harus bertindak sesuai dengan sebutan itu.

Menjadi bapa dalam komunitas orang-orang cacat mental dan menjadi pembantu mereka rasanya jauh lebih penting daripada bergulat dengan perjuangan antara si anak bungsu dan anak sulung. Bapa dalam lukisan Rembrandt (pelukis terkenal yang di akhir hidupnya melukis kisah kembalinya anak yang terhilang) adalah bapa yang telah dihampakan oleh penderitaan. Melalui banyak kematian yang di deritanya, ia menjadi sungguh-sungguh bebas untuk menerima dan memberi. Tangannya yang terentang bukanlah tangan yang meminta, mencengkram, menuntut, memperingatkan, mengadili atau menghukum. Tangan itu adalah tangan yang hanya memberkati, yang memberikan segalanya tanpa memberikan imbalan sama sekali.

Komunitas kami penuh dengan anak-anak yang banyak tingkah dan pemarah. Sahabat-sahabat di sekeliling saya itu membuat saya merasakan kesetiakawanan. Tetapi semakin lama saya menjadi bagian dari komunitas itu, semakin terbukti bahwa kesetiakawanan itu hanya satu tempat perhentian menuju tempat yang jauh lebih sunyi: kesepian seorang bapa, kesepian Allah, kesepian yang menyertai kehidupan yang menyatakan belas kasih. Komunitas itu tidak membutuhkan anak bungsu atau anak sulung yang lain, entah bertobat atau tidak. Yang dibutuhkan adalah seorang bapa dengan tangan yang terentang, yang selalu berkehendak untuk meletakkan tangannya pada bahu anak-anaknya yang kembali. Tetapi saya selalu menolak panggilan itu. Saya tetap mencengkram kanak-kanak yang ada di dalam diri saya. Saya tidak mau menjadi setengah buta (gambaran bapa dalam lukisan Rembrandt). Saya ingin tetap dapat melihat dengan jelas peristiwa yang terjadi di sekitar saya. Saya tidak dapat menunggu anak-anak dalam diri saya pulang ke rumah. Saya ingin tetap bersama mereka dimana saja mereka berada, di sebuah negri yang jauh atau di ladang bersama hamba lainnya. Saya tidak dapat tinggal diam dan melihat apa yang terjadi; saya ingin mendengar keseluruhan kisah dan mengajukan banyak pertanyaan. Saya tidak dapat terus menerus merentangkan tangan jika ada beberapa orang yang ingin dipeluk, khususnya jika mereka menganggap orang tua atau gambar bapa sebagai sumber permasalahan mereka.

Setelah sekian lama hidup seperti seorang anak, akhirnya saya tahu bahwa panggilan sejati saya adalah menjadi seorang bapa yang hanya ingin memberkati dengan belas kasihan tanpa akhir. Seorang bapa yang tidak pernah bertanya, yang senantiasa memberi dan mengampuni, tanpa pernah mengharapkan imbalan. Mereka mencari seorang bapa yang dapat memberkati dan mengampuni tanpa menginginkan mereka berbuat sebaliknya. Sementara pada saat yang sama, hal itu kelihatannya hampir mustahil untuk saya ikuti. Saya tidak ingin tetap tinggal di rumah sementara setiap orang pergi keluar, entah di dorong keinginan atau kemarahan mereka. Saya merasakan dorongan yang sama dan ingin lari berkelilling seperti yang dilakukan orang lain! Tapi siapa yang akan berada di rumah jika mereka kembali  dengan kelelahan, kepayahan, kegembiraan, kekecewaan, rasa bersalah atau malu? Siapa yang akan meyakinkan mereka bahwa tetap ada tempat yang aman untuk kembali dan menerima pelukan? Jika bukan saya lalu siapa lagi? Kegembiraan masa tua sangat berbeda dengan  kenikmatan anak-anak yang banyak tingkah. Kegembiraan itu adalah kegembiraan yang tidak memperhitungkan lagi rasa penolakan dan rasa sepi; bahkan tidak membutuhkan peneguhan dan kebersamaan. Itulah kegembiraan seorang bapa yang mengambil namanya dari sang Bapa surgawi dan ambil bagian dalam kesendirian ilahi-Nya.

Tidak mengherankan bahwa sedikit saja orang yang menyadari panggilan kebapaan itu. Penderitaannya terlalu jelas, sementara kegembiraannya terlalu jauh tersembunyi. Kendati demikian dengan tidak menerima panggilan kebapaan itu saya menghindari tanggung jawab saya sebagai orang yang sudah dewasa rohani. Ya..saya bahkan mengingkari panggilan saya. Itu pasti! Tetapi bagaimana saya memilih sesuatu yang kelihatannya bertentangan dengan segala kebutuhan saya? Sebuah suara berkumandang di telinga saya jangan takut, Sang Anak akan menjagamu dengan tangannya dan membawamu kepada bapa. Saya tahu suara tersebut dapat di percaya. Seperti biasanya orang miskin dan lemah, kaum pinggiran, yang di tolak dan dilupakan dan yang paling tidak berarti: mereka tidak hanya membutuhkan saya sebagai seorang bapa, tetapi menunjukkan kepada saya bagaimana menjadi seorang bapa bagi mereka. Kebapaan yang sejati adalah mengambil bagian dalam kemiskinan kasih Allah yang tidak pernah menuntut. Saya tidak berani masuk ke dalam kemiskinan itu, tetapi mereka yang telah memasukinya melalui ketidakberdayaan mereka, baik mental atau fisik, akan menjadi guru bagi saya.

Dengan melihat orang-orang yang tinggal bersama saya, orang cacat baik pria maupun wanita dan para pembantunya, saya menyaksikan kerinduan besar akan seorang bapa, dimana kebapaan dan keibuan menjadi satu. Mereka telah menderita karena pengalaman di tolak dan di tinggalkan. Mereka terluka saat mereka tumbuh. Mereka semua ragu-ragu apakah mereka berharga untuk kasih Allah yang tanpa syarat. Dan mereka semua mencari tempat dimana mereka dapat aman kembali dan di sentuh oleh tangan-tangan yang memberkati mereka.

Rembrandt menggambarkan sang bapa sebagai seroang yang telah mengatasi masa kanak-kanaknya. Kesepian dan kemarahannya sendiri mungkin pernah ada di sana, tetapi telah di ubah oleh penderitaan dan air mata. Kesepiaannya telah menjadi keheningan tanpa akhir, kemarahannya telah menjadi syukur tanpa batas. Itulah tokoh yang harus saya wujudkan dalam diri saya. Saya melihatnya sejelas saya melihat keindahan luar biasa dari kehampaan dan kemurahan hati bapa. Mampukah saya mendorong si anak bungsu dan sulung yang ada di dalam diri saya tumbuh berkembang ke arah kematangan sang bapa yang penuh belas kasih?

Ketika empat tahun lalu saya pergi ke St. Petersburg untuk melihat lukisan kembalinya si anak hilang saya tidak tahu bagaimana saya harus menghayati apa yang saya lihat itu. Saya berdiri termangu di tempat Rembrandt telah membawa saya. Dia telah membimbing saya dari seorang muda lusuh yang sedang berlutut kepada sang bapa yang berdiri membungkuk, dari tempat saya diberkati ke tempat dimana saya harus memberkati. Ketika saya melihat tangan saya yang tua ini, saya menyadari bahwa sepasang tangan ini di anugerahkan kepada saya untuk di rentangkan kepada siapa saja yang menderita, untuk di letakkan di bahu mereka yang datang dan menawarkan berkat yang bersumber kepada kasih Allah yang amat besar.


Comments

Popular posts from this blog

Masih Adakah Pewahyuan Sekarang Ini?

Sebuah kajian kritis terhadap doktrin pre-tribulasi rapture

Sebuah Biografi Singkat Mengenai Kehidupan John Wesley