The Dones: fenomena orang-orang kristen yang meninggalkan gereja
Resensi Buku : Church
Refugees: Sociologists Reveal Why People Are DONE With Church But Not Their
Faith (Amos Winarto Oei)
Judul : Church
Refugees: Sociologists Reveal Why
PeopleAre DONE With
Church But Not Their Faith
Penulis : Josh
Packard dan Ashleigh Hope
Penerbit : Loveland,
CO.: Group Publishing
Tahun : 2015
Halaman : 143 halaman
Packard dan Hope
berusaha memahami dan melakukan refleksi atas pertanyaan “mengapa” orang-orang
meninggalkan gereja. Mereka yang sudah “selesai” (“the Dones”) dengan gereja
ini menjadi fokus penelitian dalam Church Refugees.
“The Dones” adalah
orang-orang yang dulunya aktif dalam kehidupan bergereja baik itu dalam
pelayanan maupun kepemimpinan namun sekarang telah meninggalkan semua itu.
Kelompok ini dapat dikatakan “selesai” dengan segala bentuk organisasi dengan
struktur gereja dan memiliki beberapa ciri. Mereka dulunya sangat giat
melayani, bahkan ada yang pernah menjadi pendeta/penginjil. Mereka dulunya
begitu mencintai gereja di mana mereka berada sehingga sangat berkomitmen untuk
menolong gerejanya mewujudkan segala potensi yang ada. Setelah sekian lama,
pada akhirnya mereka mendapati bahwa alih-alih gereja semakin mewujudkan
potensinya ternyata gereja malah menghabiskan energi mereka untuk mengurus
soal-soal struktur dan birokrasi.
Perlu diingat bahwa kelompok ini tidak boleh
dengan segera disamakan dengan mereka yang berusaha mengikut Yesus dengan mudah
ataupun yang dikenal dengan nama Kristen KTP (Kristen Tanpa Pertobatan). “The
Dones” bergumul dalam menjalani jalan sempit yang Yesus sediakan bagi para
pengikut-Nya. Secara khusus, mereka telah mempunyai visi yang jelas bagaimana
seharusnya gereja itu hadir di dunia dan sudah berusaha keras untuk mewujudkan
visi tersebut. Sayangnya, mereka akhirnya memutuskan bahwa harga yang harus
dibayar demi biaya operasional dan perawatan gereja ternyata tidak sebanding
dengan kerinduan mereka untuk menyaksikan Yesus melalui gereja di mana mereka
berada. Bahkan, banyak yang mengungkapkan bahwa jika mereka tetap bertahan
dalam kondisi yang demikian, sangat besar kemungkinan mereka malah tidak pernah
menjadi dewasa secara rohani atau menghidupi kehidupan mengikut Yesus dengan
sungguh-sungguh.
Dari situ terlihat
bahwa mereka meninggalkan gereja bukanlah akibat perbedaan dan perdebatan
teologis. Mereka bukannya tidak percaya, misalnya, bahwa Alkitab adalah firman
Allah atau bahwa Yesus adalah satu-satunya Juru selamat. Yang mereka rindukan
adalah tersedianya tempat untuk mengeksplorasi dampak menghidupi
keyakinan-keyakinan seperti itu dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang sering
terjadi adalah bahwa gereja tidak mengizinkan mereka untuk memperoleh tempat
yang aman dalam mendiskusikan perbedaan-perbedaan yang ada. Gereja sering kali
tidak memfasilitasi mereka untuk berdiskusi melainkan justru menutup pintunya
terhadap diskusi-diskusi semacam itu.
Sebagai catatan
tambahan, walaupun “the Dones” telah meninggalkan gereja secara institusional,
mereka terus berusaha menemukan cara baru untuk berada dalam sebuah komunitas
dan untuk memberikan dampak pada lingkungan di sekitar mereka, baik jauh maupun
dekat. Mereka adalah “refugees” yang terus mencari aktualisasi iman mereka di
luar tembok-tembok gereja tertentu. Dalam hal ini, “the Dones” adalah kaum
entrepreneur spiritual. Satu hal yang buku ini tekankan adalah bahwa jika
gereja lokal dapat membawa kembali “the Dones” ke dalam gereja, maka daya hidup
baru akan timbul di dalam gereja itu melalui kehadiran mereka.
Mengapa demikian?
Karena mereka akan memberi daya hidup pada gereja lokal untuk menghidupi iman
Kristen melalui tiga cara. Pertama, komunitas yang betul-betul ber-“komuni”
atau memiliki relasi secara nyata. Ini bukan sekedar gereja memiliki
kelompok-kelompok kecil yang berkurikulum jelas. Melainkan, gereja hadir
sebagai sebuah tempat di mana para anggotanya memiliki relasi yang
sesungguhnya, bukan sekedar formalitas. Pentingnya komunitas ini bagi “the
Dones” terbukti karena ketika mereka sudah “selesai” dengan gereja lokal,
mereka sendiri terus berusaha untuk menciptakan komunitas di luar struktur dan
birokrasi gereja.
Kedua adalah komitmen
pada keotentikan. Secara khusus, “the Dones” sangat memperhatikan supaya gereja
menjadi gereja yang sebenarnya atau otentik dimana perbedaan-perbedaan yang ada
dihargai tanpa harus melewati penghakiman dan ejekan. Bagi mereka, persatuan
yang terjadi di dalam gereja tidak otomatis berarti harus terjadi keseragaman.
Dalam konteks Indonesia, pertanyaan yang mungkin ditanyakan oleh “the Dones”
terhadap gereja lokal adalah dapatkah sebuah jemaat menerima kehadiran seorang
narapidana atau pun seorang yang ada dalam kategori LGBT dalam komunitas mereka
dan melayani orang itu tanpa terlebih dahulu mengerutkan dahi dan menghakimi?
Bagi “the Dones” jawaban terhadap pertanyaan itu memberikan ukuran sejauh mana
suatu gereja lokal berkomitmen untuk bersikap otentik. Di dalam buku ini bahkan
diungkapkan bahwa ketika gereja tidak berkomitmen untuk bersikap otentik, maka
yang cenderung terjadi adalah gereja itu akan menyediakan lebih banyak waktu
untuk berkomitmen membangun fasilitas yang lebih banyak dan lebih besar.
Ketiga dan terakhir
adalah keberanian gereja untuk menyangkal diri sendiri. “The Dones” sungguh
menginginkan bahwa iman Kristen tidak sekedar soal doktrin yang benar melainkan
juga iman yang mengubah hidup. Mereka sering mengambil keputusan untuk
meninggalkan gereja lokal karena setelah lama bergumul mereka menemukan bahwa
misi gereja sering kali digagalkan oleh prioritas struktur dan birokrasi gereja
itu sendiri. Menurut mereka, gereja cenderung untuk hanya tertarik pada
kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan keuntungan bagi gereja itu sendiri.
Sederhananya, mereka sering menemukan bahwa misi gereja bukanlah untuk menghadirkan
kerajaan Allah di dunia melainkan menghadirkan bendera gereja itu sendiri di
mana-mana.
Buku ini memang hasil
penelitian di Amerika Serikat. Namun masukan-masukan yang didapat berguna untuk
menjadi refleksi gereja-gereja di Indonesia. Apakah gereja di Indonesia berani
membuka diri untuk memiliki jemaat yang sungguh menjalin relasi secara otentik
dan menghidupi penyangkalan dirinya? Ataukah mental kolonialisasi masih sulit
untuk dihilangkan dari struktur dan birokrasi gereja di Indonesia?
Akhirnya, bagaimana
usaha untuk mencegah supaya “The Dones” tidak terjadi di Indonesia? Atau kalau
sudah terjadi, usaha apa yang dapat dilakukan untuk membawa mereka kembali?
Mungkin gereja-gereja di Indonesia harus berani membuka diri terhadap cara dan
konsep baru serta bersedia untuk menjalani pembaharuan. Kedua, bersediakah
gereja untuk tidak terlebih dahulu menghakimi melainkan mengasihi dan
mendampingi orang-orang yang diabaikan dan dipinggirkan? Ketiga, relakah gereja
untuk menjadi tempat aman bagi segala macam diskusi tentang iman Kristen dan
kehidupan dengan segala konsekuensi yang dapat terjadi?
Packard dan Hope
telah melakukan sebuah penelitian yang tidak sekedar membaca dan menafsirkan
data-data lapangan melainkan penelitian yang menunjukkan betapa uletnya Allah
terus berkarya melalui orang-orang percaya dalam dunia yang terus berubah ini.
Mereka memang meneliti “the Dones” namun mereka sendiri tetap terlibat dan
masih belum menyerah serta meninggalkan gereja lokal di mana mereka berada.
Kiranya keuletan semacam itu juga menjadi semangat gereja-gereja di Indonesia
untuk tidak menyerah terhadap segala macam tantangan. Melainkan kiranya dengan
membaca tinjauan ini atau bahkan membaca secara langsung bukunya, para
pemimpin, para aktivis dan setiap anggota jemaat dari sebuah gereja lokal
ataupun sinodal boleh terstimulasi untuk terus berefleksi diri dan
mengembangkan diri.
Amos Winarto Oei
http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2015/10/RESENSI-BUKU-Church-Refugees-Amos.pdf
Comments