Sedikit tentang kitab Wahyu

Kitab Wahyu mungkin adalah kitab yang paling sulit dimengerti dari semua kitab yang ada di dalam alkitab.  Bahkan teolog-teolog besar seperti John Calvin dan Martin Luther yang terkenal produktif dalam menulis komentar alkitab tidak memiliki komentar alkitab tentang kitab Wahyu. Mereka bahkan cenderung memandang rendah kitab Wahyu. Namun walaupun mereka berpendapat seperti itu kita harus lebih mempercayai apa yang kitab Wahyu katakan yang merupakan firman Allah itu sendiri. Dimana ada dikatakan bahwa berbahagia mereka yang membacakan, mendengarkan dan menuruti apa yang terdapat di dalam tulisan kitab Wahyu ini (Wahyu 1:3; 22:7). Dari apa yang dikatakan dalam kitab Wahyu ini jelaslah bahwa kitab Wahyu adalah sebuah kitab yang istimewa dan layak untuk dipelajari setiap orang kristen.

Siapa penulis kitab Wahyu
Walaupun ada orang-orang seperti Martin Kiddle yang meragukan bahwa kita bisa mengetahui siapa penulis kitab Wahyu sesungguhnya, karena memang ada kesulitan yang cukup serius untuk bisa menerima bahwa kitab wahyu dan injil Yohanes di tulis oleh orang yang sama sebab gaya bahasa Yunani dalam dua kitab tersebut sangat berbeda. Bahasa dalam Injil Yohanes halus, fasih dan ditulis dalam bahasa Yunani dengan akurat dan sederhana sedangkan dalam kitab Wahyu bahasanya buruk dan kasar dengan banyak penyimpangan gramatika dan sintaksis.[1] Tapi penulis alkitab juga kadang tidak menulis langsung tulisannya, melainkan orang lain yang menulisnya (Roma 16:22). Jadi bisa saja yang menulis kitab Wahyu ini adalah murid Yohanes yang kemampuan dan gaya menulisnya berbeda dengan Yohanes. Tapi yang pasti alkitab menginformasikan kepada kita  bahwa penulis kitab tersebut memang Yohanes (Wahyu 1:4) dan ini dikonfirmasi oleh bapa-bapa gereja mula-mula sebelum Dionysius dari Alexandria (meninggal 22 Maret 264 M) seperti Justin Martyr, Clement, Tertulian dan Ireneus.[2]

Kapan kitab Wahyu di tulis
Menurut tradisi gereja mula-mula kitab Wahyu di tulis sekitar tahun 90 – 95 M sewaktu pemerintahan Titus Flavius Domitianus seorang kaisar Romawi yang memerintah dari 81 – 96 M.

Tempat penulisan kitab Wahyu
Bukti secara internal maupun eksternal mendukung bahwa Patmos sebuah pulau di lepas pantai Asia Kecil yang tidak jauh dari Efesus adalah tempat penulisannya (Wahyu 1:9).

Isi kitab Wahyu
Ayat pembukaan Kitab Wahyu mengindikasikan bahwa kitab tersebut terdiri dari tiga macam literatur[3]:
a)     Nubuatan kristen
Rasul Yohanes yang menulis kitab ini adalah seorang kristen Yahudi jadi kita harus memahami kitab Wahyu dalam konteks awal nubuat Kristen, dimana biasanya ada nabi-nabi kristen yang bernubuat dalam pertemuan ibadah yang biasanya bernubuat secara oral (lisan) namun dalam kasus ini Yohanes menuangkannya dalam bentuk tulisan. Rasul Yohanes disini tidak hanya menulis seperti dalam tradisi perjanjian lama, tetapi dia memahami dirinya  sedang menulis  klimaks ketika semua nubuat eskatologis dari para nabi yang akhirnya akan digenapi.
b)    Apokalipsis
Kata ‘'wahyu’’ atau ‘’apocalypse'’ (apokalypsis) memberi kesan bahwa kitab Wahyu merupakan sebuah genre Yahudi kuno dan literatur kristen. J. J. Collins mendefinisikan genre apokalypsis adalah “Suatu bentuk genre literatur wahyu ilahi yang di sampaikan dalam kerangka cerita, dimana wahyu ilahi ini sampai kepada seorang manusia sebagai penerimanya melalui  perantaraan “oknum” dari dunia lain,  yang menyingkapkan sebuah realitas transenden, baik itu yang temporal (berhubungan atau mengenai waktu) - sejauh yang digambarkannya adalah keselamatan eskatologis, dan spasial (berkenaan dengan ruang dan tempat) sejauh melibatkan dunia lain yang adikodrati (supernatural)[4]
c)     Surat yang di edarkan
Seluruh Kitab Wahyu adalah surat edaran yang ditujukan kepada tujuh jemaat tertentu (Wahyu 1 : 1 1 ; 1:4; 22:16). Surat kepada tujuh jemaat ini adalah representatif dari semua gereja, ini bisa disimpulkan dari kalimat “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat” (Wahyu 2:7, 1 1 , 17, 29; 3:6, 13, 22) yang sepertinya mengundang para pembaca untuk mendengarkan setiap pesan yang disampaikan kepada tujuh jemaat. Hal ini tidak mengurangi pesan khusus bagi yang sudah di tujukan bagi tujuh jemaat tersebut tapi merepresentasikan berbagai konteks bagi setiap gereja di sepanjang zaman.

Metode penafsiran kitab Wahyu
Hampir 1/3 kitab Wahyu berisi prediksi (nubuatan), sebagian besar peristiwa itu akan terjadi setelah pasal 4:1 (Naiklah ke mari dan Aku akan menunjukkan kepadamu apa yang harus terjadi sesudah ini). Ini menunjukkan bahwa peristiwa itu merupakan sesuatu yang bersifat future, baik bagi penulis maupun bagi para pembaca kitab tersebut di abad I M. Bagi orang-orang kristen yang hidup setelah ratusan tahun kitab itu di tulis bahkan ribuan tahun seperti kita sekarang terdapat perbedaan pendapat apakah nubuatan tersebut sudah digenapi, belum digenapi ataukah sedang digenapi pada saat mereka hidup. Dan para teolog kristen umumnya mempunyai 4 pandangan mengenai hal ini, yaitu bagaimana mereka menafsirkan kitab Wahyu tersebut.
1.     Preterist
Preterist berasal dari bahasa latin yaitu “praeter” yang artinya menunjuk kepada masa lalu atau yang telah terlewati. Preterisme menganggap semua prediksi di kitab Wahyu telah digenapi pada waktu jatuhnya Kekaisaran Romawi, ketika gereja berada di bawah tekanan dari penganiayaan kekaisaran. Kitab Wahyu Itu ditulis untuk orang-orang Kristen abad pertama, untuk mempersiapkan mereka untuk apa yang akan terjadi berikutnya. Babel di anggap sebagai Roma. Meskipun prediksi kitab Wahyu telah berlalu bagi mereka, mereka bisa belajar dari apa yang terjadi sebelumnya di kitab Wahyu. Bukunya Michael J. Gorman “Reading Revelation Responsibly” yang bercorak preterist dan cukup banyak disukai sebagian orang kristen injili sekarang ini.
2.     Historis
Metode Historis ada dua macam. Yang pertama Historis Linear yang melihat dan   mempercayai seluruh prediksi yang terdapat dalam kitab Wahyu meliputi seluruh masa gereja, dari kedatangan Kristus yang pertama kali sampai kedatangan-Nya yang kedua. Jadi penggenapan prediksi dalam kitab Wahyu adalah masa lalu, sekarang dan di masa yang akan datang. Seorang sarjana alkitab menghasilkan indeks referensi silang antara setiap bagian dari Wahyu dengan Cambridge Ancient and Modern History. Yang umumnya menyatakan bahwa kita hidup di masa antara pasal 16 – 17 kitab Wahyu.[5] Dan yang kedua adalah Historis Cylical (berputar) yang melihat prediksi kitab Wahyu meliputi seluruh sejarah gereja lebih dari sekali. William Hendriksen di dalam bukunya More than Conquerors mengklaim telah menemukan tujuh putaran yang mencakup seluruh sejarah gereja yang membuat dia bisa menempatkan millenium (pasal 20) sebelum kedatangan Kristus yang kedua kali (pasal 19) dan oleh karenanya memiliki pandangan post-mill.
3.     Futuris
Paham Futuris percaya bahwa pusat dari prediksi kitab Wahyu terjadi pada saat beberapa tahun terakhir menjelang Kedatangan kristus Kedua kali. Oleh karena itu hal ini masih merupakan masa depan untuk kita  saat ini, oleh karenanya disebut futuris. Futuris memusatkan perhatiannya pada saat klimaks kejahatan yang akan menguasai dunia ini, yang akan menjadi ‘’Kesengsaraan Besar’’ untuk umat Allah (Wahyu 7:14; juga disebut oleh Yesus dalam Matius 24: 12-22). George Ladd membagi metode Futuris ini menjadi dua yaitu Futuris Dispensasionalisme yang menanggap tujuh jemaat mewakili tujuh periode sejarah gereja berturut-turut dan periode terakhir akan diwarnai dengan kemurtadan dan apatisme rohani. Dan yang kedua adalah Futuris Moderat yang mengartikan tujuh surat sebagai surat yang ditujukan kepada ketujuh gereja historis yang mewakili gereja-gereja secara keseluruhan.[6]
4.     Idealis
Pendekatan metode idealist akan menghilangkan semua referensi waktu tertentu dan menghambat korelasi dengan suatu peristiwa tertentu. Wahyu merupakan gambaran peperangan 'abadi' antara yang baik dan jahat dan 'kebenaran' yang terkandung dalam narasi kitab Wahyu yang dapat diterapkan dalam abad apapun. Peperangan antara Allah dan Setan sedang berlangsung, namun kemenangan ilahi bisa dialami oleh gereja “yang berkemenangan” setiap saat. Pesan penting dari kitab Wahyu dapat diterapkan secara universal pada segala zaman dan tempat. Mungkin satu-satunya kelebihan utama dari metode ini pesan dari kitab ini menjadi relevan untuk semua orang yang membacanya.

Dari beberapa metode penafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa ada 4 pendapat mengenai pertanyaan “Kapan prediksi dalam kitab wahyu di genapi?”
1.     Preterist: beberapa abad pertama.
2.     Historis: seluruh abad dari kelahiran Kristus sampai kedatangan-Nya yang kedua kali.
3.     Futuris: beberapa tahun terakhir dari abad terakhir.
4.     Idealist: setiap abad bisa berlaku, tidak ada abad khusus.

Mana yang benar? Tentu saja ada yang pro dan kontra. David Pawson berkesimpulan[7]:
a)     Setiap metode memiliki sebagian kebenaran tapi tidak memiliki seluruh kebenaran. Saat hanya satu sebuah metode pendekatan digunakan selalu ada teks yang di manipulasi.
b)    Tidak ada alasan mengapa tidak boleh untuk menggunakan lebih dari satu metode. Teks memiliki arti dan aplikasi yang berbeda. Tapi diperlukan kontrol untuk menghindari pendekatan sebuah metode tertentu yang semaunya saja untuk mendukung apa yang sudah menjadi pendapatnya.
c)   Masing-masing dari keempat metode tersebut dapat menolong untuk memberikan pengertian. Beberapa elemen dari keempat metode yang ada kompatibel dan bisa digunakan dalam hubungannya satu dengan yang lain meskipun kita harus mengingat bahwa ada beberapa elemen yang tidak kompatibel dan tidak dapat dikombinasikan.
d)    Penekanan mungkin akan berbeda di beberapa bagian kitab tersebut. Pada setiap tahap, metode atau metode penafsiran yang paling tepat harus dipilih dan digunakan.

Pandangan tentang kerajaan 1000 tahun (Millenium) dan masa tribulasi
Salah satu yang paling sering menjadi perdebatan paling sengit di kitab Wahyu adalah mengenai kerajaan 1000 tahun, tribulasi dan kapan rapture terjadi. Di antara orang-orang kristen yang paling salehpun di sepanjang sejarah gereja kadang memiliki perbedaan pendapat mengenai hal-hal ini. Sudah begitu banyak literatur yang di tulis mengenai eskatologi, namun belum ada kesepakatan yang sama mengenai eskatologi. Akibat hal ini ada beberapa orang yang enggan mempelajari eskatologi. Tabel berikut ini menjelaskan beberapa pandangan umum mengenai eskatologi:


Tujuan penulisan kitab Wahyu
Untuk apa kitab Wahyu di tulis? Jawabannya sangat mudah, dengan kita bertanya untuk siapa kitab ini di tulis? Kitab ini tidak pernah dimaksudkan sebagai sebuah textbook universitas theology. Biasanya selalu dari kalangan akademik theology yang membuatnya semakin rumit. Sebagaimana dikatakan Eduard Reuss seorang teolog Lutheran “Kitab wahyu adalah buku yang paling sederhana dan transparan yang pernah di tulis nabi”[8] dia berpendapat para teolog kristen di sepanjang zamanlah yang membuat kitab Wahyu semakin sulit dipelajari dengan prasangka mereka yang tidak masuk akal. Salah satu kemalangan para ahli yang berorientasi pada culture menurut Eugene Peterson adalah ketika ada sesuatu yang di rasa sulit, maka akan di kirim ke universitas untuk menyelesaikannya. Dengan gagasan seperti ini kitab Wahyu tidak akan dimengerti oleh orang-orang biasa, kecuali oleh para ahli. Namun adalah jelas memang kalau kitab Wahyu di tulis untuk jemaat biasa yang saat itu menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang (1 Korintus 1:26). Pesannya sebenarnya sederhana “Yesus menang”.

Alasan-alasan praktis kitab Wahyu ditulis                     
Kitab Wahyu ditulis bukan hanya untuk menginformasikan peristiwa yang akan terjadi di masa depan tetapi juga untuk mempersiapkan orang kristen mengenai apa yang akan terjadi, dalam kitab Wahyu ini tentu saja kebanyakan adalah penderitaan. Kitab Wahyu adalah buku manual untuk kemartiran, yang mengajak setiap orang percaya untuk setia sampai mati (Wahyu 2:10). Kitab ini sangat berarti bagi orang-orang kristen yang sedang mengalami penganiayaan karena kitab ini memberikan penghiburan bahwa Yesus telah menang dan mereka akan memerintah bersama Kristus suatu kali nanti.

Keuntungan-keuntungan mempelajari kitab Wahyu
1.     Dengan kitab Wahyu alkitab menjadi komplit
Kisah alkitab di alkitab  menjadi komplit. Akhir yang bahagia dinyatakan. Hubungan kasih berakhir di dalam pernikahan dan hubungan yang sejati akan di mulai. Tanpa hal ini alkitab tidak komplit.
2.     Sebuah sarana untuk melawan bidat
Biasanya para bidat suka mengunjungi orang-orang kristen, dimana mereka banyak berbicara dari kitab Wahyu. Kalau orang-orang kristen tidak menguasai kitab Wahyu akan menjadi berbahaya. Oleh  itu menguasai kitab Wahyu adalah sebuah sarana untuk melawan bidat.
3.     Sebuah interprestasi sejarah
Mereka yang mempelajari kitab Wahyu akan menemukan korespondensi yang menakjubkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia ini yang sedang mengarah kepada penyatuan pemerintahan dan ekonomi.
4.     Sebuah dasar pengharapan
Segala sesuatunya akan berjalan sesuai rencana Allah. Dia masih di atas takhta-Nya, mengarahkan segala hal kepada “akhir” yaitu Yesus. Dia akan mengakhiri sejarah dunia ini. Paganisme, sekularisme dan akan tenggelam selamanya dan hari-hari mereka akan segera berakhir. Kristus akan menaklukkan Setan dan orang-orang kudus akan satu hari memerintah bersama Kristus. Dan Allah akan memberikan kepada kita langit dan bumi yang baru.
5.     Sebuah motivasi untuk penginjilan
Tidak presentasi yang lebih jelas dari yang dipresentasikan kitab Wahyu mengenai nasib kekal manusia; langit baru dan bumi baru atau lautan api – sukacita abadi atau disiksa selama-selamanya. Hari penghakiman pasti akan tiba dan setiap manusia akan diminta harus mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan Allah. Hari-hari anugerah untuk mendapatkan keselamatan masih tersedia sekarang.
6.     Sebuah stimulus untuk penyembahan
Kitab Wahyu penuh dengan penyembahan kepada Allah dan Anak Domba, banyak orang bernyanyi dan bersorak sorai. Ada banyak lagu kristen sepanjang zaman yang diinspirasi oleh kitab Wahyu seperti “Messiah” (George Frideric Handel) dan “The Battle Hymn of the Republic” (Mine eyes have seen the glory of the coming of the Lord).
7.     Sebuah antidote bagi keduniawian
Adalah sangat mudah bagi kita untuk berpikiran duniawi tapi kitab Wahyu mengajarkan supaya kita lebih memikirkan rumah abadi kita dibandingkan rumah “ideal” kita yang sementara di dunia ini. Lebih memikirkan tubuh kebangkitan dibandingkan kemah tempat kediaman kita di bumi ini (2 Korintus 5:1).
8.     Sebuah dorongan untuk menjadi saleh
Kitab Wahyu akan menggoncangkan kita dari kelambanan, kepuasan diri dan suam-suam kuku dengan mengingatkan kita bahwa Allah adalah "Kudus, kudus, kudus” (Wahyu 4:8). Dan hanya mereka yang kudus yang akan beroleh kebangkitan pertama pada saat Tuhan Yesus datang (Wahyu 20:6).
9.     Sebuah persiapan untuk penganiayaan
Ini adalah tujuan utama mengapa kitab Wahyu ditulis. Pesannya begitu kuat dan jelas bagi orang-orang kristen yang menderita karena iman mereka untuk tetap bertahan dan menang. Yesus berkata semua orang akan membenci pengikut-Nya di akhir zaman (Matius 24:9). Jadi kita semua perlu mempersiapkan diri untuk penganiayaan.
10.  Sebuah pengertian tentang Kristus
Dengan kitab Wahyu kita memiliki gambaran yang komplit tentang Tuhan Juruselamat kita. Tanpa kitab Wahyu gambaran tersebut akan tidak seimbang bahkan akan mengalami distorsi. Di kitab Wahyu Kristus digambarkan sebagai Raja segala raja dan Tuan segala tuan, gambaran Kristus seperti ini belum pernah dilihat dunia, namun suatu hari dunia akan melihat. Kristus yang dilihat orang kristen saat ini, dilihat melalui iman namun suatu hari mereka akan melihat muka dengan muka.


.



[1] George Ladd,  A Commentary on the Revelation of John, (Grand Rapid Michigan: Eerdmans, 1972), 7
[2] Leon Morris, Revelation an Introduction and Commentary, (Nottingham: Inter-Varsity Press, 2009), e-book edition. 
[3] Richard Bauckham, The theology of the Book of Revelation, (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 1
[4] John J. Collins, Semeia 14: Apocalypse: The Morphology of a Genre, (Society of Biblical Literature. 1979), 9
[5]  David Pawson, Unlocking the Bible, (London: HarperCollins Publishers, 2012), e-book edition. 
[6] George Ladd, Teologi Perjanjian Baru Jilid 2, (Bandung: Kalam Hidup, 2014), 447 - 448
[7] David Pawson
[8] Dari buku William E. Biederwolf, The Prophecy Handbook, (World Bible Publishers, 1991) di kutip dalam buku David Pawson, Unlocking the Bible, (London: HarperCollins Publishers, 2012), e-book edition.  

Comments

Popular posts from this blog

Masih Adakah Pewahyuan Sekarang Ini?

Sebuah kajian kritis terhadap doktrin pre-tribulasi rapture

Sebuah Biografi Singkat Mengenai Kehidupan John Wesley