Aku tahu hidupku tidak sia-sia
Kita akan mendengarkan
secara seksama perkataan keluarga atau teman kita yang sedang sekarat terbaring
sakit, karena kita tahu kemungkinan besar itu adalah perkataan terakhir mereka.
Kata-kata terakhir seseorang biasanya merupakan sesuatu yang mengharukan,
dimana kata-kata terakhir tersebut bisa merupakan sebuah wasiat, nasihat, perintah
ataupun sebuah ungkapan atas sebuah kehidupan yang telah dijalaninya seperti
yang pernah dikatakan Paulus “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku
telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (2 Tim. 4:7)
Surat
2 Timotius merupakan surat Paulus yang terakhir yang bisa dikatakan merupakan
kata-kata Paulus yang terakhir. Bagi saya pribadi surat ini adalah surat Paulus
yang paling mengharukan bagi saya dari semua surat yang dia tulis. Mungkin
surat 2 Timotius ini tidak memiliki kekayaan teologi seperti suratnya kepada
jemaat di Efesus atau jemaat di Roma, namun kalau kita membayangkan situasi dan
kondisi Paulus saat menulis surat tersebut kita akan merasakan “detak
jantungnya.”
Di saat
Paulus menulis surat ini dia merupakan seorang tahanan, namun berbeda dengan
yang sebelumnya di mana dia merupakan tahanan rumah (Kis. 28:16), namun kali
ini setelah perjalanan misinya yang ketiga dia di penjara bawah tanah di Roma sebagaimana
dikatakan para sejarahwan. Tidak seperti penahanan sebelumnya dimana dia yakin
akan bertemu kembali dengan saudara-saudara kristennya (Fil 1:25), kali ini Paulus
yakin jika dia akan segera bertemu dengan Allah yang dia kasihi (2 Tim 4:6) yang
telah memberikan Putra-Nya mati kayu salib mati untuk menebus dosa-dosanya.
Dari
semenjak pertobatannya dalam perjalanan ke Damsyik (Kis. 9:3) memang seperti
dikatakan Tuhan Yesus Kristus kepadanya bahwa dia memang akhirnya mengalami banyak
penderitaan karena nama Kristus (Kis. 9:16). Penderitaan Paulus bisa dikatakan sebuah
penderitaan yang extreme yang mana merupakan tanda dari seorang rasul yang
sejati (Baca penderitaan Paulus di 2 Kor. 11:23-33; 2 Kor. 4 dan 6). Paulus
dengan terus terang mengatakan kalau dirinya adalah sampah dunia, kotoran dari
segala sesuatu (2 Kor. 4:3). Begitu banyak penderitaan yang dia hadapi dalam
hidupnya dalam melayani Tuhan yang dia kasihi.
Dia
seperti orang gila yang tidak bisa menguasai dirinya sendiri dalam melayani
Allah (2 Kor. 5:13). Kalau kita membaca surat-suratnya sepertinya Paulus tidak pernah
mengenal adanya “batasan pengorbanan” apapun yang bisa dikorbankan akan
dikorbankan dalam melayani Allah. Dia bahkan sempat berkata kalau dia
bersukacita kalau darahnya dicurahkan pada korban dan ibadah jemaat Filipi
(Fil. 2:17). Yang pada akhir di kehidupannya menurut tradisi kepalanya di
penggal di luar kota Roma.
Mungkin
di saat itu tidak sedikit orang yang melihat Paulus seperti orang bodoh.
Mungkin kalau bahasa sekarang mereka akan berkata: “Hei Paulus, jangan terlalu
fanatik,” “jangan terlalu berlebihan,” “ingat kesehatanmu,” “coba liburan
sekali-kali,” “pikirkan masa depanmu, bagaimana kalau kamu sudah tua nanti,” dan mungkin banyak lagi perkataan-perkataan
sejenisnya. Namun Paulus sepertinya tidak peduli dengan ocehan mereka, nyawanya
saja tidak dia hiraukan (Kis. 20:24) apalagi hanya harta dunia (Kis 20:33).
Paulus sudah mati terhadap dunia ini dan karena Paulus mati terhadap dunia ini
maka dia benar-benar bisa hidup bagi Allah.
Saya
percaya saat Paulus menjalani sebuah kehidupan yang penuh penderitaan seperti
itu tidaklah dijalani selalu dengan penuh tawa, dia juga pernah putus asa (2
Kor 1:8). Mungkin di saat-saat kesepian yang sangat dan penuh penderitaan itu
akan banyak suara di dalam hatinya yang berusaha memaksa dia untuk menghentikan
perlombaan yang di wajibkan baginya (Ibr. 12:1). Namun kasih Kristus yang
menguasainya (2 Kor.5:4) membuat dia tidak menghiraukan penderitaannya, kasih
Kristus memampukannya untuk tetap teguh berkomitmen menyelesaikan tugas pelayanan
yang dipercayakan kepadanya (Kis. 20:24).
Di tengah
perlombaan iman kita, saat penderitaan muncul dan pelayanan kita kelihatannya
tidak berbuah mungkin kita akan tergoda berpikir bahwa hidup kita sia-sia. David
Wilkerson percaya bahwa pikiran-pikiran seperti ini juga pernah menyerang
Paulus. Tetapi Allah kita adalah Allah yang setia, Dia yang memulai Dia yang
akan mengakhirinya dengan baik (Fil. 1:6), Dia yang akan menopang kita untuk
mengakhiri pertandingan ini dengan baik. Dan segala jerih payah kita dalam
Tuhan tidak akan pernah sia-sia (1 Kor 15:58).
Saat
Paulus menulis surat 2 Timotius ini Paulus dimana dia tahu akan segera mati,
dia seperti memandang kembali ke belakang mengenai kehidupannya, mungkin dia
akan berkata “hidupku tidak sia-sia” memang penderitaan zaman sekarang ini
tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.
(Rom. 8:18). “Segala pengorbananku, kesepian dan kerugian yang aku alami dalam hidup ini tidak
sebanding sama sekali dengan pengorbanan Kristus yang telah mati dan
menyerahkan diri-nya bagiku.”
Saat
seseorang akan mati dia akan bisa menilai hidupnya sia-sia atau tidak. Banyak
orang yang mungkin “menyinyir” Paulus akan mendapati di akhir kehidupan mereka
bahwa hidup mereka benar-benar sia-sia. Ternyata hidup ini bukan soal mengumpulkan
harta benda dan menikmati kesenangan. Tapi soal mempersembahkan kehidupan
kepada Allah yang di tandai dengan penderitaan.
Waktu
terus berjalan, seiring berjalannya waktu kesempatan kita semakin sedikit dalam
melayani Allah di dunia ini. Biarlah kita mencontoh Paulus yang tidak pernah
memiliki istilah batas pengorbanan dalam hidup ini. Biar saat kematian mendekat
kita bisa berkata “puji Tuhan, aku tahu hidupku tidak sia-sia’. Amin.
Comments