Soren Kierkegaard

“Penderitaan sanggup untuk menenggelamkan semua suara duniawi … tapi suara dari kekekalan dalam diri manusia tidak dapat di tenggelamkan. Ketika dengan pertolongan penderitaan semua suara yang tidak relevan dibawa kepada keheningan, maka suara kekekalan yang ada di dalam diri manusia dapat terdengar.”

 “Hidup saya sangat menderita, sebuah penderitaan yang tidak dapat diketahui dan tidak bisa dimengerti oleh orang lain.” Dan karena penderitaan yang dialaminya itulah Soren Kierkegaard menyerang filsafat yang menguasai Eropa saat itu dan juga menyerang kekristenan yang nyaman di zaman dimana dia hidup.

Meninggalkan cintanya
Kierkegaard lahir di Copenhagen Denmark di dalam keluarga Lutheran yang ketat. Dia mewarisi watak melankolis dari ayahnya dan dia mengalami penderitaan sebagai pemuda yang tidak berbahagia. Tubuhnya yang lemah dan kurus membuat dia menjadi sebuah obyek ejekan sepanjang hidupnya. Namun ayahnya adalah orang yang cukup kaya sehingga Kierkegaard tidak pernah memiliki sebuah pekerjaan, dia bebas untuk menghabiskan hidupnya sebagai seorang penulis dan filsuf.

Kierkegaard masuk ke Universitas Copenhagen untuk mempersiapkan dirinya untuk melayani sebagai hamba Tuhan gereja Lutheran, namun dia memerlukan sepuluh tahun untuk memperoleh gelarnya dan dia tidak pernah di tahbiskan. Adalah filsafat bukan teologi yang menawan imajinasinya.

Regine Olsen juga menawan hatinya. Mereka bertunangan, tapi Kierkegaard merasa ragu dan dengan cepat membatalkan pertunangan itu, walaupun dia mengakui bahwa dia masih sangat mencintai Regine Olsen. Dia terbebani dengan kesadaran yang tidak biasa akan kompleksitas pikiran manusia, yang mana dia tidak mampu mengkomunikasikannya kepada Regine. Dia menulis dalam catatan hariannya: “Saya seribu tahun terlalu tua baginya.” Beberapa tahun kemudian dia membandingkan keputusan yang menyakitkan itu dengan Kebersediaan Abraham mempersembahkan Isak dan beberapa buku yang di tulis “karena Regine Olsen.”

Kebenaran Subyektif
Buku pertamanya Either/Or (1843) adalah sebuah buku yang brilliant, dialektikal dan juga sebuah diskusi puitis dimana dia mencoba membenarkan berpisahnya dia dengan Regine, yang mana menetapkan sebuah prinsip dasar filsafatnya: setiap orang harus memilih – dengan sadar dan bertanggung jawab – atas pilihan-pilihan di  dalam kehidupan saat ini.

Setelah Either/Or dia menulis beberapa karya filsafat yang lain: Fear and Trembling (1843), Philosophical Fragments (1844), The Concept of Dread (1844), dan Concluding Unscientific Postscript to the Philosophical Fragment (1846).

Target dia adalah “sistem” (sebagaimana dia mengejeknya) yang dibuat oleh G.W.F Hegel, seorang filsuf idealist yang terkenal. Dia menyerang Hegel yang mencoba mensistematikkan semua realitas; Hegel menurut Kierkegaard, meniadakan semua elemen yang paling penting dari pengalaman manusia: eksistensi itu sendiri. Kierkegaard merasa bahwa sistem filsafat (Hegel) tidak dapat menjelaskan kondisi manusia. Pengalaman tentang realitas – kehilangan seseorang yang dikasihi, perasaan bersalah dan ketakutan – dan apa yang penting, bukan “ide” tentangnya.

Hegel menekankan keuniversalan; Kierkegaard membantahnya dengan keputusan dan komitmen. Hegel berusaha menciptakan sebuah teori obyektif tentang pengetahuan yang dapat di setujui semua orang;
Kierkegaard percaya kepada kebenaran subyektif – yang berarti bahwa kebenaran dapat dipahami dan  di alami oleh setiap individu.

Kierkegaard percaya bahwa eksistensi itu aktual, menyakitkan dan lebih penting daripada “esensi” atau “ide.” Seseorang yang otentik dia bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang tidak dapat di jawab secara rasional. Sebagaimana yang pernah di tulis Kierkegaard, :”Hidup saya telah dibawa ke sebuah jalan yang buntu, saya benci eksistensi …dimanakah saya? Benda apa yang dinamakan dunia ini? Apa arti dari kata ini? Siapa yang memancing saya pada benda ini, dan kini meninggalkan saya di sini? Siapakah saya? Bagaimana saya bisa berada di dunia? Mengapakah tidak dibicarakan dengan saya terlebih dahulu dengan berkenalan secara sopan dan seperti biasanya? … Bagaimana saya
bisa memiliki sebuah ketertarikan dengan apa yang ada di dalam dunia ini? Apakah itu hanya sebuah perhatian yang dilakukan secara sukarela? Dan jika saya menjadi terdorong untuk mengambil bagian di dalamnya, dimanakah pemimpinnya? kemana saya harus menyampaikan keluhan saya?

Satu-satunya jalan untuk menghidupi eksistensi yang menyakitkan ini adalah melalui iman. Tapi bagi Kierkegaard iman bukanlah sebuah keyakinan mental mengenai doktrin, bukan juga perasaan-perasaan
agamawi yang positif, tapi sebuah komitmen yang bergairah kepada Allah di dalam situasi yang tidak pasti. Iman adalah sebuah resiko (sebuah lompatan iman), sebuah petualangan yang menuntut penyangkalan diri seseorang. Memilih iman adalah hal yang membuat eksistensi manusia menjadi otentik.

Ini adalah “eksistensialisme” yang mana Kierkegaard di anggap sebagai pendirinya – meskipun kemudian hari para filsuf eksistensialis memiliki agenda yang berbeda secara signifikan dengan dirinya.

Menyerang kekristenan
Di dalam tulisan-tulisan dia kemudian - Works of Love (1847), Christian Discourses (1848), and Training in Christianity (1850)—dia mencoba mengklarifikasi mengenai natur kekristenan yang sejati.
Musuh terbesar kekristenan, menurut pendapat dia adalah “kekristenan” – kekristenan yang telah menjadi budaya dan di hormati di zaman dia hidup. Tragedi dari kekristenan yang nyaman adalah eksistensi telahberhenti menjadi sebuah petualangan dan resiko yang konstan di dalam hadirat Allah telah menjadi sebuah bentuk moralitas dan sebuah sistem doktrinal. Yang tujuannya adalah menyederhanakan masalah untuk menjadi seorang kristen. Ini hanyalah paganisme (kekafiran), kekristenan yang murahan, yang tidak memerlukan pengorbanan ataupun penderitaan, demikian pendapat Kierkegaard.  Ini adalah seperti bermain perang-perangan, yang mana ada serdadu yang bergerak dan ada suara yang bising, tapi tidak ada resiko ataupun penderitaan – dan tidak ada kemenangan sejati. Kierkegaard percaya gereja di zamannya hanya sedang “memainkan kekristenan.”
Kierkegaard bertambah yakin bahwa panggilannya adalah untuk “membuat kekristenan menjadi sulit.” Dan dia mengingatkan orang-orang di zamannya bahwa untuk menjadi seorang kristen yang sejati, seseorang harus menyadari ada pengorbanan karena imannya dan ada harga yang harus di bayar.

Kemudian dia mengkritik dengan keras: “Kita adalah apa yang disebut sebagai sebuah negara ‘kristen – namun dengan sebutan itu tidak ada seorangpun diantara kita yang memiliki karakter kekristenan menurut standar perjanjian baru”

Lalu dia mengejek: “Kebanyakan orang percaya bahwa perintah-perintah Kristen itu (misal mengasihi orang lain seperti mengasihi dirinya sendiri) sesuatu yang niat untuk kita lakukan tapi dirasakan sedikit
terlalu berat, seperti halnya memasang alarm untuk memastikan agar tidak terlambat di pagi hari."

Dia percaya hanya dengan membuat kekristenan menjadi sulit – bisa menolong orang menjadi sadar akan adanya penderitaan, perasaan bersalah dan perasaan-perasaan ketakutan yang menemani manusia, bahkan di dalam kehidupan seseorang yang beriman – yang mana dapat menolong
orang kristen untuk mendengar Allah kembali:  “Penderitaan sanggup untuk menenggelamkan semua suara duniawi … tapi suara dari kekekalan dalam diri manusia tidak dapat di tenggelamkan.  Ketika dengan pertolongan penderitaan semua suara yang tidak relevan dibawa kepada keheningan, maka suara kekekalan yang ada di dalam diri manusia dapat terdengar.”

Kierkegaard bukan hanya seorang nabi yang menderita. Dia adalah seorang manusia yang dalam, hampir seorang mistis (Meister Eckhart, Frederick William Faber, Madame Jeanne Guyon, Tozer dll), dan melalui penanya dia bisa menulis doa-doa seperti ini:

“Ajar aku, Oh Allah, untuk tidak menyiksa diriku sendiri, dengan tidak membuat diriku menjadi seorang martir melalui  perenungan yang “mencekik”  tapi ajar aku untuk bernafas dengan dalam di dalam iman.
Dan Bapa di sorga, saat pikiran tentang Engkau terbangun di hatiku, biarlah itu tidak terbangun seperti sebuah burung yang akan terbang karena ketakutan, tapi biarlah seperti seorang anak yang terbangun
dari tidurnya dengan sebuah senyum surgawi.

Sebagaimana filsafatnya Keirkegaard sendiri adalah seseorang yang paradoks. (Sumber: Christianitytoday.com)


Comments

Popular posts from this blog

Sebuah kajian kritis terhadap doktrin pre-tribulasi rapture

Sebuah Biografi Singkat Mengenai Kehidupan John Wesley

Masih Adakah Pewahyuan Sekarang Ini?