Mengenal Sosok Athanasius dan Kontribusinya bagi Teologi Kristen
Pendahuluan
Sejarah gereja sukar dipisahkan dengan berbagai kisah
para teolog serta apa yang mereka lakukan. Saat doktrin gereja yang benar
terancam, Allah biasanya selalu membangkitkan seorang teolog untuk
mempertahankan doktrin yang benar. Hal ini kita bisa lihat di sepanjang sejarah
gereja mulai dari masa awal-awal gereja hingga sampai saat ini. Ada banyak
teolog penting yang bermunculan di sepanjang sejarah gereja. Sehingga tidak jarang
orang mencoba membuat daftar siapa saja teolog yang paling penting di sepanjang
sejarah gereja. Salah satunya adalah Trevin Wax seorang blogger di The Gospel
Coalition dimana setelah dia berdiskusi dengan para mahasiswa seminari,
professor dan teolog akhirnya dia memilih lima teolog yang paling berpengaruh
di dalam teologi kristen, salah satu dari lima teolog tersebut adalah
Athanasius.[1]
Nama Athanasius adalah bukan sebuah nama yang asing bagi
mereka yang suka membaca buku teologi dan sejarah gereja. Saat seseorang
mendengar nama Athanasius biasanya yang langsung terbayang dalam pikiran mereka
adalah tentang Kristologi, karena memang Athanasius ini terutama dikenal
sebagai seorang teolog yang gigih membantah Arianisme yang tidak mengakui
keallahan Kristus. Sangat beralasan jika Trevin Wax menempatkan Athanasius
dalam salah satu teolog paling berpengaruh, karena sumbangsihnya yang memang
besar dalam teologi kristen.
Untuk itu adalah perlu dan juga penting bagi kita untuk
mencoba mengenal lebih jauh lagi siapa sosok Athanasius juga mengenai
kontribusinya bagi teologi kristen. Dan hal itulah yang akan coba dilakukan
dalam tulisan ini. Di dalam tulisan ini penulis memakai berbagai sumber yang
penulis dapat temukan, mulai dari buku-buku yang membahas secara khusus
biografi Athanasius sampai buku-buku sejarah gereja dan juga berbagai sumber di
internet yang memuat informasi mengenai Athanasius.[2] Semoga kiranya tulisan ini
bisa jadi berkat bagi kita semua dan banyak pelajaran yang akan kita dapat kita
ambil darinya. Amin.
Kehidupan
Awal Athanasius
Athanasius
dilahirkan sekitar tahun 298 di Mesir. Tidak seperti Agustinus yang menulis
otobiografinya “Pengakuan-pengakuan” sehingga masa lalunya mudah diketahui
orang namun tidak demikian dengan Athanasius, sehingga kita tidak mengetahui
kisah pertobatannya melalui tulisannya sendiri. Pada abad ke sepuluh Uskup
Mesir Severus Ibn al-Muqaffa menulis History of the Patriarchs of Alexandria
dalam bahasa Arab yang ada memuat kisah Athanasius. Tulisannya agak sulit untuk
dapat dikatakan akurat namun ada beberapa pakar yang menggunakan tulisannya. Di
dalam tulisan ini diperoleh informasi bahwa orangtua Athanasius adalah
penyembah berhala dan Ibunya adalah
seorang yang sangat kaya.
Melalui
catatan ini Athanasius tampaknya sedari muda sudah memiliki bakat kehidupan
yang saleh. Dikisahkan dalam catatan tersebut saat Athanasius hidup tanpa Ayah
itu saat dia beranjak dewasa Ibunya
ingin agar dia menikahi seorang wanita,
namun Athanasius tidak ingin menikah dan Ibunya mungkin frustrasi
sehingga dia sampai menyuruh para gadis yang cantik dengan mendandani mereka
dan menyuruh para gadis cantik itu masuk ke ruangan Athanasius untuk tidur di
dekat Athanasius dan merayunya, tapi Athanasius mengusir mereka.[3]
Karena
usahanya itu gagal akhirnya Ibunya berkonsultasi dengan seorang ahli nujum yang
paling bijak di Alexandria. Ibunya mengatakan apa yang menjadi masalahnya
terhadap Athanasius. Dan ahli nujum yang bijak itu berkata kepada Ibunya
“Biarkan saya makan malam dengannya.”
Ibunya Athanasius sangat senang dan menyiapkan perjamuan makan malam
yang besar. Tapi keesokan harinya ahli nujum yang bijak itu berkata kepada
Ibunya “jangan sedih, engkau tidak bisa memiliki kontrol lagi atas anakmu,
karena dia telah menjadi pengikut orang Galilea dan menganut kepercayaan orang
Galilea, dan dia akan menjadi orang yang besar.” ibunya berkata siapa orang
Galilea itu? “Dia berkata “Mereka adalah yang menjadi bagian dari gereja, yang
meruntuhkan kuil dan patung.” Karena Ibunya takut sendirian di tinggalkan
Athanasius, Ibunya membawa Athanasius kepada Alexander yang menjadi Uskup
Alexandria saat itu dan menjelaskan apa yang terjadi. Akhirnya Ibunya dan
Athanasius dibaptis. Setelah beberapa lama kemudian Ibunya mati dan Athanasius
di anggap seperti seorang anak oleh Alexander yang juga mengajarnya. Sampai
suatu hari Alexander mentahbiskannya Athanasius sebagai seorang diaken dan
membuat Athanasius menjadi juru tulisnya.[4]
Athanasius
dan Konsili Nicea
Sebelum
abad ke empat para teolog kristen belum memsistematikan tentang teologi yang
ortodoks mengenai Allah walaupun mereka banyak menulis hal itu. Ada beberapa
pandangan keliru yang muncul dalam kekristenan mengenai Allah misalnya
Modalisme yang percaya bahwa Allah hanya memanifestasikan diri-Nya dalam tiga
cara yang berbeda. Dan juga ada pandangan sebaliknya yang extreme yaitu
Triteisme yang percaya pada tiga Allah. Mungkin karena adanya ajaran-ajaran
yang keliru ini maka Origenes mulai menulis secara ekstensif tentang teologi
Allah, dimana dia memiliki konsep
Trinitas bahwa Allah itu memiliki tiga hypotasis (pribadi) tapi Origenes juga
percaya Trinitas itu bertingkat.[5] Anak itu secara kekal dihasilkan atau
diperanakkan oleh Bapa. Hal persoalan tentang Anak inilah yang kemudian di
dipermasalahkan oleh Arius[6] seorang Presbiter dari
Alexandria yang sekitar tahun 318 – 320 mengatakan “Jika Anak Allah adalah
sungguh-sungguh Anak, Dia harus memiliki sebuah permulaan, harus ada suatu
waktu saat dimana Anak tidak ada” ajarannya ini kemudian menyebar ke seluruh
wilayah Mesir.
Ajaran
Arius ini kemudian dibantah keras oleh Alexander Uskup Alexandria. Namun Arius
tetap pada pendiriannya. Akhirnya tahun 321 Alexander mengadakan Konsili di
Alexandria yang menyatakan bahwa ajaran Arius salah. Namun demikian Arius juga
tetap masih mendapatkan simpati dari orang-orang yang mendukungnya. Dan
perdebatan ini terus berlangsung dan memanas, yang membuat Konstantin memandang
bahwa hal ini berbahaya karena masalah ini bisa di politikisasi untuk mengancam
kerajaannya.[7]
Dan dia ingin masalah ini agar segera di selesaikan, untuk itu dia memanggil
semua Uskup gereja untuk mengadakan konsili di Nicea Bhytinia (Sekarang Iznik
di negara Turki). Athanasius ikut hadir di konsili ini menemani Uskup Alexader.
Keputusan konsili ini menyatakan bahwa pengajaran Arius sesat.
Dari
beberapa pakar yang menulis buku tentang Athanasius mengatakan bahwa peran
Athanasius di Konsili Nicea ini tidak diketahui dengan jelas kemungkinan dia
memang tidak memainkan banyak peranan di konsili ini dan tidak bukti dari
tulisannya kalau dia terlibat dalam debat di Konsili Nicea ini.[8] Kemungkinan besar
Athanasius yang masih muda saat itu hanya mendengarkan serius debat yang
berlangsung dan mendiskusikannya dengan Uskup Alexander. Mungkin juga dia
terpesona dengan pertemuan terbesar gereja dalam sejarah saat itu.
Athanasius
dan Masa Pembuangan setelah Konsili Nicea
Nama
Athanasius tidak terdengar kembali setelah konsili Nicea sampai peristiwa Uskup
Alexander meninggal tanggal 17 April 326 yang mana kemudian pada tanggal 8 Juni
328 Athanasius menggantikan Alexander sebagai Uskup Alexandria. Dipilihnya
Athanasius menjadi Uskup Alexandria membuat banyak yang iri seperti kaum
Melitian, mungkin mereka iri karena
Keuskupan Alexandria ini adalah keuskupan yang terbesar di zaman itu setelah
Roma yang membawahi semua Uskup di Mesir dan Libya. Mereka berusaha menjatuhkan
Athanasius dengan tuduhan-tuduhan palsu. Namun untuk sementara waktu tidak
berhasil. Setelah dua tahun Athanasius menjadi Uskup di Alexandria Arianisme
kehilangan pengaruhnya di seluruh Mesir, namun hal ini bukan berarti Arianisme
tidak lagi mempunyai pengikut, karena setelah konsili Nicea Arianisme tetap
menyebarkan pengaruhnya kemana-mana.
Pada
masa ini kedudukan seorang pejabat gerejawi sangat bergantung kepada siapa yang
berkuasa saat itu atau erat kaitannya dengan politik. Hal ini bisa kita lihat
pada apa yang terjadi dengan Athanasius. Setelah konsili Nicea berakhir kaum kaum
Melitian dibantu oleh Uskup Eusebius dari Nicomedia seseorang yang mempunyai
pengaruh terhadap kaisar Konstantin, melakukan tuduhan-tuduhan palsu terhadap Athhanasius
yang membuat Konstantin memerintahkan
untuk mengadakan konsili untuk menyelesaikan isu tersebut. Akhirnya pada tahun
355 konsili Tyre memutuskan kalau Athanasius bersalah dan juga memutuskan kalau
pandangan Arius sebagai pandangan yang ortodoks. Dan Athanasius di buang ke
Trier di Gaul, masa ini adalah masa pembuangannya
yang pertama (336 -337) dari lima kali pembuangan yang dialaminya. Banyak
penduduk Alexandria yang menyukai Athanasius tidak setuju dengan keputusan ini
sehingga akibatnya timbul kerusuhan.
Setelah
pada tahun 377 Konstantin meninggal tahun dan kerajaannya terbagi tiga, yang
masing-masing dipimpin oleh anak-anaknya. Constantius (wilayah timur), Constans
(Itali and Illyricum) dan Constantine II (Gaul and Afrika). Dan salah satu anak
Konstantin ini yaitu Constantine II merupakan teman Athanasius, sehingga dia
membantu Athanasius untuk kembali menjadi Uskup Alexandria. Dan dia pun kembali
menjadi Uskup Alexandria. Namun hal ini todak bertahan lama karena dua tahun
kemudian Eusebius membujuk Constantius (yang berkuasa atas wilayah timur) untuk
menyingkirkan Athanasius. Hasilnya melalui konsili Anthokia pada tahun 339
Athanasius di singkirkan, masa ini merupakan masa pembuangannya yang kedua (339-346) yang juga merupakan masa
pembuangan paling lama yang di alaminya. Walaupun Athanasius telah di buang namun ada
dua anak Konstantin lainnya yang tetap mendukung Athanasius yang memerintahkan
untuk mengadakan konsili di Sardica pada tahun 343 yang membenarkan atau
membela Athanasius namun keputusan konsili tersebut secara politik baru bisa di
realisasikan setelah tiga tahun. Constans mengancam akan mengadakan perang
dengan Constantius jika dia tidak memulihkan kedudukan Athanasius.
Pada
tahun 350 Constans yang mendukung Athanasius terbunuh dan ini menyebabkan
Constantius yang sangat membenci Athanasius mempunyai kebebasan untuk menyerang
Athanasius dan doktrin Konsili Nicea. Dia pun mengutus jendralnya Syranius ke
Alexandria yang sempat mengepung gereja dimana Athanasius sedang melayani,
namun peristiwa ajaib terjadi dimana Athanasius dapat lolos dari pengepungan
tersebut. Dan Athanasius kemudian hidup di padang gurun bersama imam-iman
disana seperti imam Anthony yang terkenal. Masa ini merupakan masa pembuangannya yang ketiga (356-362). Pada
tahun 360 Constantius meninggal dan di gantikan sepupunya Julian, Atmosphere
politik pun berubah. Tahun 362 Julian mengeluarkan dekrit bahwa semua Uskup
yang dibuang oleh Constantius dapat kembali kepada kedudukannya semula sebagai
Uskup. Dekrit yang dikeluarkan Julian ini membuat Athanasius kembali ke
Alexandria sebagai Uskup.
Namun
masa Athanasius menjabat sebagai Uskup ini pun hanya sebentar hanya delapan
bulan. Karena beberapa lama kemudian Julian yang berusaha untuk membangkitkan
agama Yunani dan Romawi sadar bahwa Athanasius sama-sekali menolak dewa-dewa
kafir yang di sembah Julian. Kembali Athanasius pun mengalami masa pembuangan yang keempat (362-364)
selama lima belas bulan dengan tinggal bersama-sama imam yang hidup di padang
gurun. Suatu hari saat dia tinggal di padang gurun ada seorang imam yang bernama
Theodorus bernubuat bahwa hari itu juga Julian terbunuh dalam peperangan di Persia[9] yang mana terbukti
nubuatan tersebut benar. Dan Athanasius pun kembali ke Alexandria menjadi
Uskup.
Satu
setengah tahun kemudian kaisar Valens yang menggantikan Julian yang merupakan
simpatisan Anti-konsili Nicea memerintahkan bahwa semua Uskup yang sebelumnya
dibuang oleh Julian untuk dibuang kembali. Pada tahun 365 tentara Valens
menyerbu gereja di Dionysius untuk menahan Athanasius namun Athanasius telah
diperingatkan sebelumnya untuk pergi yang mana ini merupakan masa pembuangannya yang kelima (365-366)
yaitu masa pembuangannya yang terakhir dan paling cepat. Karena situasi politik
menguntungkan Athanasius, karena ada saudara Julian yang menentang Valens,
takut dengan tidak stabilnya keadaan di Mesir akhirnya Valens kembali
mengizinkan Athanasius menduduki jabatan sebagai Uskup Alexandria sampai dia
meninggal pada tanggal 3 Mei 373.
Karya
dan Kontribusi Athanasius di Dalam Teologi Kristen
Selama
hidupnya Athanasius adalah seseorang yang produktif dalam menulis. Banyak
tulisannya memberikan dasar dalam teologi kristen. Berikut ini adalah beberapa
karyanya:
1. Againts The Pagans (tahun 318): Di
dalam tulisannya Athanasius menulis sebuah apologetika dengan menegaskan bahwa kekristenan bukanlah
sesuatu yang irasional karena Kristus adalah Logos. Barangsiapa yang tidak
percaya kepada Kristus mereka adalah alogos (tidak berakal), tanpa akal budi
dan irasional.
2. Four Discourses Against the Arians
(antara tahun 356 – 360): Membantah kesesatan Arianisme.
Di dalam buku ini Athanasius pertama-tama
berargumen bahwa hanya Allah yang dapat menyelamatkan dan menghancurkan kuasa
dosa dan membawa manusia kepada kehidupan yang kekal. Karakteristik natur
manusia mengharuskan manusia untuk di tebus. Tidak ada ciptaan yang dapat menyelamatkan
ciptaan yang lain. Hanya Pencipta yang dapat menebus ciptaan. Jika Kristus
bukan Allah, maka Dia adalah bagian dari masalah dan bukan pemberi solusi.
Untuk itu menerima Kristus tidak lain adalah untuk menerima Dia sebagai Allah
itu sendiri. Athanasius berlogika dengan cara berpikir yang sulit dibantah
orang Arianisme:
a) Tidak
ada ciptaan yang dapat menebus ciptaan yang lain.
b) Menurut
Arius, Yesus Kristus adalah sebuah ciptaan.
c) Maka
menurut Arius, Yesus Kristus tidak dapat menebus manusia.
Hal ini sukar dibantah Arianisme karena
mereka percaya gagasan bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat yang menebus
manusia. Dan selain itu di perjanjian baru dan juga orang-orang kristen
mula-mula menyembah dan berdoa kepada Tuhan Yesus Kristus, maka jika Tuhan Yesus
Kristus adalah ciptaan maka mereka semua berdosa.
3. Defence of the Nicene Definition (antara
tahun 351 – 355): Athanasius mempertahankan pendahulunya dan
juga hasil kosili Nicea
Banyak orang Arianisme termasuk Arius sendiri
memakai tulisan teolog-teolog sebelumnya seperti Origen dan Tertulian untuk
mendukung pemikiran mereka. Namun Athanasius meneliti kembali secara hati-hati
tulisan-tulisan teolog tersebut dan ternyata pemikiran mereka tidak seperti apa
yang dipikirkan oleh Arianisme. Dan pemikiran para teolog sebelumnya juga kalau
di telusuri akan mendukung hasil konsili Nicea.
4. Illud Omnia (sebelum tahun 342): Athanasius
melatih gereja bagaimana untuk menafsirkan alkitab.
Pertempuran melawan Arianisme bisa dikatakan
adalah peperangan tentang alkitab. Athanasius menuntun gereja di dalam hal
bagaimana mengumpulkan bukti-bukti di alkitab untuk membuktikan point-point
yang paling penting. Dia memiliki pemahaman yang luar biasa mengenai
topik-topik utama dalam alkitab dan dapat mendebatkannya secara rinci seperti
yang dia lakukan terhadap Arianisme. Dia bisa mundur dari pohon untuk bisa
melihat seluruh hutan, bahkan menggunakan terminologi baru yang tidak ada di
alkitab untuk menjelaskan apa yang dimaksud alkitab. Tapi fokus Athanasius
adalah selalu membawa orang kembali kepada alkitab, itulah sebabnya John Piper
mengatakan “membaca tulisan Athanasius selalu membawa dia kembali kepada teks
alkitab.”[10]
Charles Kannengiesser seorang pakar Patristik mengatakan "dia adalah
penemu dari apa yang kita sebut sebagai “penafsiran dogmatis' yang mana menjadi salah
satu bentuk utama dari penafsiran Alkitab di sepanjang kontroversi besar dari abad keempat dan
kelima.”[11]
5. Letters of Athanasius to Serapion (tahun
357):
– Athanasius mempertahankan doktrin Ke-Allah-an Roh Kudus dan Trinitas
Di abad ke empat mulai banyak orang
menyangkali ke-Allah-an Roh Kudus. Dalam suratnya kepada Serapion ini
Athanasius menjelaskan doktrin Roh kudus
yang untuk selanjutnya di sempurnakan kembali oleh Basil dari Caesarea.
Di dalam tulisannya ini dia juga berusaha menyempurnakan doktrin mengenai
Trinitas yang telah di tulis para teolog sebelumnya dengan lebih jelas dan
alkitabiah.
6. The Life of Antony (antara tahun 356 –
362): Athanasius membantu mempopulerkan gaya hidup Monastik
sebagai protes terhadap keduniawian.
Sebelum Konstantin menjadi kristen gereja
mengalami aniaya tapi mengalami pertumbuhan rohani tapi setelah Konstantin
menjadi kristen gereja tidak lagi mengalami aniaya, gereja kebanyakan menjadi nyaman dan duniawi. Dan salah satu
usaha yang dilakukan orang kristen di zaman itu adalah dengan memiliki cara
hidup Monastik di padang gurun seperti yang dilakukan Anthony. Athanasius
adalah seorang pendukung gaya hidup seperti ini.
7. The Festal Letters:
Athanasius adalah orang yang pertama mendokumentasikan kanon Perjanjian Baru
dan juga seorang gembala yang baik
Sebelum Athanasius sudah banyak orang yang mencoba
mengkanonkan Perjanjian baru tapi kalau pertanyaannya “siapa yang pertama kali
mengkanonkan 27 kitab Perjanjian Baru tanpa dikurangi dan ditambahkan?” maka
orang tersebut adalah Athanasius. Selain seorang teolog yang hebat Athanasius
juga merupakan seorang gembala yang baik. Dia suka menulis surat penggembalaan
kepada gereja-gereja di bawah keuskupannya.
Siapa yang mempengaruhi Athanasius
Dari
apa yang kita ketahui dari tulisannya maka dapat disimpulkan bahwa Athanasius
adalah seseorang yang suka belajar dan membaca. Gregory Nazianzus mengatakan
bahwa Athanasius terutama memiliki pendidikan dalam ruang lingkup religius
dimana dia mempelajari alkitab dan tulisan para teolog sebelum dia, selain itu Athanasius
juga mempelajari filsafat-filsafat Yunani untuk menolong dia menjelaskan konsep
kekristenan kepada mereka yang saat itu di pengaruh oleh kebudayaan Yunani, dalam
hal ini tentu saja Athanasius pasti mahir dalam bahasa Yunani. Oleh sebabnya di
dalam tulisannya dia juga pernah mengutip Plato, Homer, Aristotle.[12] Apa yang seseorang baca
biasanya akan mempengaruhi pemikiran seseorang tersebut. Karena Athanasius
membaca banyak tulisan, lalu tulisan siapa yang mempengaruhi Athanasius? Tentu
pertanyaan ini adalah pertanyaan yang menarik.
Adolf Harnack seorang sejarahwan dan teolog liberal yang terkenal berpendapat bahwa dogma kekristenan seperti Tritunggal dan dua natur Kristus adalah produk dari keputusan-keputusan sejarah yang temporer dan situasional. Dia berpandangan demikian karena dia menilai injil telah dicemarkan oleh filsafat Yunani. Maka mungkin tidak mengherankan pula kalau ada yang berpendapat kalau pandangan Athanasius mengenai Kristologi dan Tritunggal sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Saat sejarahwan berpikir tentang Athanasius yang contra mundum (melawan dunia) tidak hanya mereka berpikir bahwa Athanasius hanya melawan dunia kafir dan sesat tapi juga sedikit curiga jika Athanasius sebenarnya juga melawan dunia teologi apostolik.[13] Banyak mereka berpikir kalau Athanasius sebagaimana juga Arius yang sangat dipengaruhi oleh Origen yang pemikirannya sangat dipengaruhi filsafat Yunani. Konteks zaman tersebut memang sepertinya mengharuskan seorang teolog untuk dapat mengerti atau memahami filsafat Yunani agar dia dapat memberitakan injil. Bahkan pemakaian kata “Logos” yang dipakai rasul Yohanes dapat dikatakan sebagai cara untuk memberitakan injil dalam konteks orang-orang yang sudah dipenuhi pemikiran filsafat Yunani. Begitu juga dengan Athanasius, dia membaca tulisan-tulisan filsafat Yunani tapi hanya dalam rangka untuk menjelaskan, memberitakan dan membela injil. Robert A. Case di dalam sebuah jurnal yang membahas orang-orang yang mempengaruhi Athanasius berpendapat hal adalah hal yang tidak benar kalau Athanasius dipengaruhi Origen apalagi oleh filsuf-filsuf Yunani. Pendapatnya ini disertai dengan bukti-bukti yang cukup banyak yang membuktikan bahwa Athanasius memang sangat dipengaruhi alkitab tapi selain itu pemikirannya juga dipengaruhi oleh orang-orang yang ortodoksinya solid seperti Iranaeus dan Ignatius
Adolf Harnack seorang sejarahwan dan teolog liberal yang terkenal berpendapat bahwa dogma kekristenan seperti Tritunggal dan dua natur Kristus adalah produk dari keputusan-keputusan sejarah yang temporer dan situasional. Dia berpandangan demikian karena dia menilai injil telah dicemarkan oleh filsafat Yunani. Maka mungkin tidak mengherankan pula kalau ada yang berpendapat kalau pandangan Athanasius mengenai Kristologi dan Tritunggal sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Saat sejarahwan berpikir tentang Athanasius yang contra mundum (melawan dunia) tidak hanya mereka berpikir bahwa Athanasius hanya melawan dunia kafir dan sesat tapi juga sedikit curiga jika Athanasius sebenarnya juga melawan dunia teologi apostolik.[13] Banyak mereka berpikir kalau Athanasius sebagaimana juga Arius yang sangat dipengaruhi oleh Origen yang pemikirannya sangat dipengaruhi filsafat Yunani. Konteks zaman tersebut memang sepertinya mengharuskan seorang teolog untuk dapat mengerti atau memahami filsafat Yunani agar dia dapat memberitakan injil. Bahkan pemakaian kata “Logos” yang dipakai rasul Yohanes dapat dikatakan sebagai cara untuk memberitakan injil dalam konteks orang-orang yang sudah dipenuhi pemikiran filsafat Yunani. Begitu juga dengan Athanasius, dia membaca tulisan-tulisan filsafat Yunani tapi hanya dalam rangka untuk menjelaskan, memberitakan dan membela injil. Robert A. Case di dalam sebuah jurnal yang membahas orang-orang yang mempengaruhi Athanasius berpendapat hal adalah hal yang tidak benar kalau Athanasius dipengaruhi Origen apalagi oleh filsuf-filsuf Yunani. Pendapatnya ini disertai dengan bukti-bukti yang cukup banyak yang membuktikan bahwa Athanasius memang sangat dipengaruhi alkitab tapi selain itu pemikirannya juga dipengaruhi oleh orang-orang yang ortodoksinya solid seperti Iranaeus dan Ignatius
Pelajaran
yang kita dapat dari kehidupan Athanasius
Ada
banyak hal yang dapat kita pelajari dari kehidupan Athanasius. Mulai dari
keberaniannya dan kegigihannya menentang doktrin yang salah dan tidak kompromi walaupun
itu kadang sebuah hal yang tidak populer yang bisa membuat dia kehilangan
kedudukan bahkan kehilangan nyawanya sendiri. Disini kita bisa melihat sebuah
contoh kehidupan kristen yang melawan arus yang berani menentang siapapun yang
salah bahkan menentang pemerintah yang berkuasa saat itu yang pada saat tertentu
mendukung Arianisme. Namun Athanasius tetap mengumandangkan kebenaran dia
merasa lebih baik kehilangan kedudukannya atau nyawanya dibandingkan kehilangan
imannya. Athanasius menghidupi apa yang Paulus katakan kepada jemaat Korintus “Berjaga-jagalah!
Berdirilah dengan teguh dalam iman! Bersikaplah sebagai laki-laki! Dan tetap
kuat!” (1 Kor. 16:13).
Selain
itu kita juga dapat memetik pelajaran bahwa doktrin adalah sesuatu yang sangat
penting, belajar alkitab dan menguasai doktrin itu adalah sangat penting.
Banyak sekarang orang kristen malas belajar doktrin bahkan juga para pendeta
juga tidak sedikit yang malas belajar. Tapi kalau kita lihat kehidupan
Athanasius yang juga adalah gembala, dia bukanlah seorang gembala yang malas
belajar doktrin. Di sini kita juga melihat bahwa penggembalaan itu juga terkait
erat dengan doktrin. Karena saat seorang gembala yang mengerti doktrin dia akan
memperingati jemaatnya kalau ada doktrin sesat yang masuk ke dalam gereja
seperti yang dilakukan Athanasius. Tapi kalau seorang gembala atau pendeta
tidak mengerti doktrin yang benar dia mungkin akan membiarkan jemaatnya
tersesat karena dia tidak memperingatkan jemaatnya.
Dari
perjuangan yang dilakukan Athanasius kita juga bisa memahami bahwa doktrin
tentang Ke-Allah-an Kristus adalah doktrin yang sangat penting. Dan doktrin
inilah yang terus menerus di serang oleh iblis di sepanjang zaman. Karena
doktrin tentang Ke-Allah-an Kristus adalah jantung dari teologi kristen. Saat
Kristus dikatakan bukanlah Allah maka seperti menurut pemikiran Athanasius maka
manusia tidak bisa diselamatkan karena hanya Allah yang bisa menebus ciptaan
dan dengan demikian gereja kehilangan berita injil. Di zaman ini mungkin versi
Arianisme modern yang paling terkenal adalah Saksi Yehuwa. Dari apa yang
penulis amati banyak orang kristen takut di datangi oleh orang Saksi Yehuwa,
karena banyak orang kristen tidak menguasai alkitab mereka. Dan ada juga
sebagian pendeta yang menyarankan untuk tidak usah berdebat dengan mereka. Tapi
kalau kita lihat Athanasius, dia bukanlah orang kristen yang demikian. John
Calvin pernah berkata “seekor anjing akan menggonggong kalau tuannya diserang.
Dan saya akan menjadi seorang pengecut jika saya melihat kebenaran Allah
diserang namun saya tetap diam.” Apa yang dikatakan Calvin ini sangat tepat
menggambarkan pribadi Athanasius. Athanasius adalah seseorang yang mengasihi
Tuhannya dan bukan seorang pengecut yang diam ketika kebenaran Allah di serang.
Hendaknya kita sebagai orang kristen di zaman ini juga dapat mencontoh Athanasius. Kalau kita memiliki kebenaran mengapa kita harus takut menghadapi
yang salah.
Referensi:
1. Philip
Schaff, Nicene and Post-Nicene Fathers:
Second Series Volume IV Anthanasius: Selects Works and Letters, (Christian
Classics Ethereal Library)
2. David
M. Gwynn, Athanasius of Alexandria:
Bishop, Theologian, Ascetic, Father (Oxford: Oxford University Press, 2012)
3. Khaled
Anatolios, Athanasius-The Early Church
Fathers, (London: Routledge, 2004)
4. Alister
E. McGrath, Christian History: An
Introduction, (Oxford: Wiley-Blackwell, 2013)
5. John
Piper, Contending for our all : defending truth and treasuring
Christ in the lives of Athanasius, John Owen, and J. Gresham Machen, (Wheaton,
Illinois: Crossway, 2006)
6. Robert
A. Case, Will the real Athanasius please
stand up?, JETS (1976), 283 – 2895
7. Ken
Parry, The Wiley Blackwell Companion to
Patristics, (Oxford: Wiley-Blackwell, 2005)
8. Timothy
D. Barnes, Athanasius and Constantius:
Theology and Politics in the Constantinian Empire (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1993)
[1] Athanasius di tempatkan
dalam urutan teratas yang di ikuti oleh
Augustine, Thomas Aquinas, John Calvin dan Karl Barth.
Christianity’s 5 Most Important
Theologians
[2] Setahu penulis sangat minim
buku-buku atau tulisan mengenai Athanasius dalam bahasa Indonesia
[3] History of the Patriarchs of the
Coptic church of Alexandria: Chapter 8
-- Athanasius I, the apostolic, the twentieth patriarch (326-373)
[4] Khaled Anatolios, Athanasius-The Early Church Fathers,
(London: Routledge, 2004)
Di dalam bukunya ini Khaled
Anatolios mengutip dari Patrologia
Orientalis I, 4 (408).
[5]
Belakangan debat tentang
masalah ini menjadi ramai kembali di kalangan teolog Injil seperti Wayne
Grudem, Bruce Ware, Fred Sanders, Carl
Trueman
Eternal Relations in the Trinity:
A Brief Summary of the Current Controversy
[6] Arius sendiri sebenarnya bermaksud
untuk mempertahankan doktrin Keilahian Allah Bapa yang di sangkali pandangan Modalisme:
Ken Parry, The Wiley Blackwell Companion
to Patristics, (Oxford:Wiley-Blackwell, 2005), 112
[7] Banyak pakar berpendapat bahwa
jika Konstantin bisa memilih maka dia akan mendukung Arianisme dengan alasan karena Arianisme menekankan
satu-satunya Otoritas dimiliki Allah Bapa – yang merupakan sebuah gagasan
“Monarki Ilahi” yang paralel dengan pemikiran Konstantin mengenai otoritas dan
kuasa kaisar.
Alister E. McGrath, Christian History: An Introduction, (Oxford:
Wiley-Blackwell, 2013), 57
[8] David M. Gwynn, Athanasius of Alexandria: Bishop,
Theologian, Ascetic, Father (Oxford: Oxford University Press, 2012), 5
[9] Philip Schaff, Nicene and Post-Nicene Fathers: Second
Series Volume IV Anthanasius: Selects Works and Letters, (Christian
Classics Ethereal Library), 1198
[10] John Piper, Contending for our all :
defending truth and treasuring Christ in the lives of Athanasius, John Owen,
and J. Gresham Machen, (Wheaton, Illinois: Crossway, 2006), 72
[11] The Image of the Immanent
Trinity: Rahner's Rule and the Theological Interpretation of Scripture (Issues
in Systematic Theology) by Fred Sanders
[12] Timothy D. Barnes, Athanasius and Constantius: Theology and
Politics in the Constantinian Empire (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1993), 11
[13] Robert A. Case, Will the real Athanasius please stand up?, JETS (1976), 283 - 2895
Comments