Berpikir Dalam Terang Kekekalan - K.P Yohannan

Surat kabar di India belum lama ini memuat kisah seorang pria Hindu yang mana sebagaimana banyak pemuja (umat Hindu) yang lainnya, memulai sebuah ziarah ke tempat suci untuk menerima pengampunan atas dosanya. Keinginannya yang begitu sungguh-sungguh untuk di sucikan dari dosa, menangkap perhatian media.

Pria ini memulai perjalanannya bersama dua orang putranya dengan menempuh perjalanan sejauh 125 mil untuk menuju gunung suci yang menjadi tujuan perjalanannya. Dia mengambil sebuah kerikil kecil di tangannya dan kemudian berbaring di atas jalan yang bertanah, meregangkan tangannya sejauh yang dia bisa lalu meletakkan kerikil di situ. kemudian dia bangun lagi dan berjalan kemana kerikil itu berada; mengambilnya kembali, dia  melakukan seluruh gerakan itu lagi dan lagi, yang mana itu berjarak sepanjang tubuhnya dan dia dan putra-putranya terus berjalan dengan cara melelahkan seperti itu menuju tempat suci.

Pada suatu ketika pada sebuah jalan raya yang ramai, sebuah truk berkecepatan tinggi menabrak salah seorang putranya, putranya meninggal seketika itu pula. Tapi dia terus melanjutkan perjalanan ziarahnya, keinginannya untuk mendapatkan pengampunan lebih besar daripada kesedihan yang dia rasakan atas kematian putranya.
 “Tidak ada harga yang terlalu besar untuk di bayar bagi pengampunan dosa saya,” dia katakan itu kepada reporter surat kabar yang berkumpul di lokasi kejadian. “saya bersedia melakukan apapun.”

Pria ini dan bersama seorang putranya yang masih hidup melanjutkan perjalanan mereka yang sulit sampai mereka mencapai puncak gunung suci itu. selagi mereka mempersiapkan mempersembahkan korban mereka bagi dewa-dewa yang mereka sembah, pria ini menyuruh putranya untuk berpaling ke belakang dan mulai berdoa. Putranya menuruti, sementara putranya memandang ke arah yang berbeda, ayahnya mengeluarkan sebuah pisau dan mengorbankan putranya yang tersisa ini dalam pengharapan terakhir bagi pengampunan dosa-dosanya.

Seorang pemimpin misionaris mengatakan kepada saya kemudian, “pria itu dan putra-putranya berjalan melewati rumah saya. Jika saya melihat mereka, saya dapat memberikan sebuah traktat injil dan memberitakan injil kepada mereka. katakan kepada saya, bagaimana saya tidak menjadi terbeban untuk menjangkau orang-orang di daerah saya dengan injil?”

Sejak saat itu pertanyaannya sering terngiang-ngiang di pikiran, terutama selagi saya membaca berbagai peristiwa yang terjadi di dunia. Contohnya, semenjak Uni Soviet pecah, pintu-pintu terbuka bagi pemberitaan injil untuk menjangkau daerah-daerah yang terpencil di sana. Beberapa dari republik yang baru hampir 100% penduduknya muslim. Siapakah yang akan mendengar panggilan Allah untuk memenangkan mereka bagi Yesus? Mereka semua perlu di jangkau dengan injil – Orang-orang Uzbek, orang-orang Turkmen, orang-orang Azeri dan jutaan lainnya.

Gereja bawah tanah mau dan bersedia mengirimkan ratusan orang-orang muda yang terlatih baik dalam sekolah penderitaan untuk pergi memberitakan injil sepenuh waktu. Salah satu pemimpin yang melakukan kontak dengan saya mengatakan kepada saya bahwa doa kita dan bantuan kita sungguh diperlukan untuk menuai sebuah panenan jiwa yang sudah menguning saat ini.

Tapi kebanyakan orang kristen bergumul untuk mengaplikasikan fakta-fakta ini secara pribadi. Adalah mudah bagi kita untuk menghabiskan waktu dan uang kita untuk diri kita sendiri. Seorang istri yang tahu bahwa suaminya akan ulang tahun tidak lama lagi, akan berbelanja membelikan barang yang bagus untuk suaminya. Dia melihat sebuah dasi sutra dan berpikir. Oh itu sebuah dasi yang bagus sekali! Akan bagus kalau di pakai olehnya. Dia mengambil dasi itu dan membawanya ke kasir bahkan tanpa memperhatikan kalau harganya $ 20 – satu lagi dasi untuk menambah puluhan dasi yang sudah ada di lemari. Namun demikian apa yang kita lakukan  dengan informasi yang kita dapat dari ladang misi tentang kebutuhan pria dan wanita yang menyerahkan seluruh kehidupan mereka untuk menjangkau orang-orang belum terjangkau dengan injil? kadang-kadang kita tidak ingin memasukan fakta-fakta ini ke dalam kehidupan kita setiap hari, atau kita tahu harus bagaimana.

Kita harus memandang sekeliling kita. Kita perlu melatih pikiran kita untuk menginterprestaikan segala sesuatu yang kita lakukan, semua yang kita lihat, semua yang kita pergunakan atau habiskan dalam terang kekekalan – dalam terang jiwa-jiwa yang mati tanpa Yesus.

Salah satu hal yang saya pelajari dari perjalanan pertama saya ke China yang masih mengganggu pikiran saya – bahwa ada begitu banyak gereja dimana ada ratusan, bahkan ribuan jemaat dalam satu gereja tanpa memiliki satu alkitab pun. Dasi $ 20 – apakah anda tahu kalau itu bisa membeli 20 alkitab atau 20,000 traktat injil? tambahkan lagi fakta ini bahwa setengah dunia ini masih menanti untuk melihat halaman pertama dari sebuah alkitab atau bahkan literatur injil apapun.

Comments

Popular posts from this blog

Masih Adakah Pewahyuan Sekarang Ini?

Sebuah Biografi Singkat Mengenai Kehidupan John Wesley

Sebuah kajian kritis terhadap doktrin pre-tribulasi rapture