Pengkotbah Kebenaran – Art Katz
Saya percaya bahwa Tuhan ingin
membuat sebuah statement sehubungan dengan fenomena firman Tuhan yang
disampaikan sekarang ini, bukan hanya bagi mereka yang bertanggung jawab untuk
memberitakan firman Tuhan, tapi juga bagi gereja secara keseluruhannya. Dalam
pengamatan saya, kita tidak terlalu menganggap bahwa apa yang dikotbahkan
adalah benar benar sebagai firman Tuhan. Kita tidak sepenuhnya memahami arti
dari “memberitakan firman Tuhan” atau kondisi dari bejana yang memberitakan
firman Tuhan tersebut. Adalah tanggung jawab gereja untuk menyediakan
lingkungan dan suasana yang kondusif saat pemberitaan firman Tuhan berlangsung.
Saat saya mengatakan “firman Tuhan” saya tidak berbicara tentang mengkotbahkan
firman Tuhan yang alkitabiah. Yang saya maksud adalah firman yang diberikan Tuhan sendiri, Tuhan menyatakan
secara langsung kepada si pengkotbah apa yang ingin disampaikanNya kepada
jemaat yang mendengar kotbah tersebut.
Saya memberikan judul artikel ini,
“Pengkotbah Kebenaran”. apa yang membuat setiap pengkotbah benar adalah jika
dia tidak menyampaikan kata katanya sendiri. Kata kata (Fiman Tuhan) itu bukan
miliknya, itu milik Tuhan dan hanya hal itu yang membuat perkataannya menjadi
benar. Si pengkotbah menolak untuk berbicara berdasarkan kemampuan dan kecerdasannya
sendiri. Gereja sangat sedikit memberikan perhatian kepada fenomena pemberitaan
firman Tuhan. Hampir tidak ada
pengertian yang dinamis tentang hal hal Ilahi dimana Tuhan dan manusia terlibat
dalam sebuah proklamasi tentang kebenaran yang sejati.
Walaupun dunia mempunyai oratornya
sendiri , tapi hanya di dalam gerejalah dapat ditemukan fenomena dari sebuah proklamasi yang sejati. Berkotbah adalah sebuah fungsi Ilahi yang perlu
dihormati, dihargai, di doakan dan untuknya kita harus menderita. Firman Tuhan
yang sejati hanya dapat di proklamasikan oleh seorang pengkotbah kebenaran. Si
pengkotbah membawa sebuah perspektif Ilahi untuk disampaikan kepada manusia di
atas bumi ini. Yang mana hal ini akan membuat persepektif dan sistem nilai
surgawi akan bertabrakan dengan perspektif dan sistem nilai duniawi. Saat Tuhan
berbicara, Dia tidak akan berbicara sesuatu yang akan membenarkan, mendukung,
memperindah apa yang duniawi. Dia membawa sebuah perspektif Ilahi yang unik
yang berpusat pada Dirinya sendiri. Ini adalah sebuah perspektif Ilahi yang
selalu bertentangan dan bermusuhan dengan hikmat yang dapat diterima dan lumrah
bagi dunia ini. Tuhan akan selalu menentang hikmat yang dianggap lumrah dan
dapat diterima dunia ini yang mana hikmat tersebut dihargai dan di tinggikan
oleh manusia, dan bahkan oleh mereka yang ada di gereja.
Gereja dipanggil untuk menjadi
musafir, orang asing dan pendatang di dunia ini. Berhubungan dengan panggilan
tersebut, maka fungsi dari kotbah adalah untuk “menikam” umat Allah yang sedang tertidur
supaya mereka terbangun dan membawa mereka kepada suatu kesadaran bahwa mereka
secara tidak sadar telah mengalah kepada dunia dan nilai nilainya. Salah satu
fungsi dari gereja adalah untuk “meniupkan peluit” dan menyatakan apa yang palsu,
sandiwara dan membongkar semua mekanisme yang menipu yang merupakan atau
mendeskripsikan dunia. Tuhan berada di dalam oposisi yang sempurna terhadap
hikmat dunia yang konvensional. Dan jika kita tahu itu dan kita menerima
pernyataan Tuhan tersebut, maka kita dengan sendirinya akan beroposisi dengan
dunia ini. Kita akan menjadi tidak nyaman di dunia ini dan kita tahu kita hanya
sebagai musafir di dunia ini yang mengerti kita ada di dunia ini hanya untuk
tujuan tertentu. Apakah roh kita gelisah dengan segala kejahatan di sekitar
kita ?
Membutuhkan keberanian untuk
menyampaikan firman kebenaran. Dunia telah mengabdikan dirinya kepada
kepentingan dirinya sendiri. Dia sama
sekali tidak ingin merubah hal itu. Dunia akan melakukan berbagai macam cara untuk
mempertahankan hal ini yang telah menjadi kesukaan dan tujuannya, dan dunia
akan sangat marah sekali jika mendengar firman kebenaran yang mengancam
kesukaan dan tujuan mereka. Itulah sebabnya firman Tuhan akan di tolak dan
tidak diinginkan. Membawa sebuah persepektif surgawi ke sebuah tempat yang
bernama bumi tentu saja akan menimbulkan setiap jenis oposisi yang dahsyat dari
penguasa kegelapan dunia ini. Mereka ingin mempertahankan atau membiarkan
hikmat mereka dapat diterima sebagai sesuatu yang normatif. Dunia dan sistemnya
menyepelekan hal hal yang paling penting dan paling pasti dan membuat hal hal
yang paling penting dan paling pasti menjadi sepele. Dunia berusaha membuat
segala sesuatu yang serius dan signifikan yang berasal dari Allah menjadi tidak
artinya. Dan fungsi kotbah adalah untuk memulihkan hal ini sesuai pandangan
Allah.
Kotbah yang benar adalah membawa
perspektif Ilahi yang mana akan mempengaruhi cara berpikir manusia dan hidup
mereka. Kotbah tersebut akan menghasilkan sebuah “garis pemisah yang jelas dan
tegas” yang berasal dari surga, orang orang harus membuat suatu keputusan
akibat dari kotbah tersebut. Anda tidak dapat menjalani “urusan seperti
biasanya lagi.”salah satu cara saya bisa mengetahui apakah kata kata yang
keluar dari mulut saya (kotbah saya) di terima adalah dengan melihat apakah
orang orang orang yang mendengarkan kotbah saya tetap melanjutkan “urusan
seperti biasanya lagi” ?. jika apa yang dikotbahkan tidak menuntut apapun, itu
bukanlah firman Tuhan. Bisa saja kotbah itu alkitabiah, itu bisa menjadi homili
yang indah, dapat mencakup berbagai tema di alkitab, tapi kalau kotbah tersebut
tidak menuntut apapun itu bukanlah firman Tuhan. Dia tidak akan mengirimkan
firmanNya ke bumi supaya kita bisa tertawa geli dan terhibur (yang dimaksud di
sini terhibur secara duniawi). firmanNya selalu menuntut dan selalu itu adalah
sebuah tuntutan yang radikal. Dan karena alasan itulah kenapa kita sekarang
hanya mendengar begitu sedikit pemberitaaan firman Tuhan yang benar, karena
kebanyakan pengkotbah tidak ingin dituntut atau menuntut yang lain yang mana si
pengkotbah sendiri tidak mau memenuhi tuntutan tersebut.
Apakah anda memperhatikan bahwa
betapa sedikit “yang harus dibayar” oleh mereka yang berada di gereja ? bukahkan
kita lebih mirip klub sosial yang datang untuk sebuah “Minggu pembenaran”.
Kesaksian kita hampir diabaikan sama sekali oleh dunia ini. kita tidak menjadi
pulau realitas di tengah tengah lautan ilusi, dimana orang orang bisa mendarat
di pulau realitas kita supaya mereka bisa keluar dari ilusi mereka dan bisa
hidup dalam realitas yang sejati. Mungkin kita sudah begitu menyatu dengan
ilusi sehingga kita tidak bisa mengenali suara Tuhan saat Dia berbicara atau
berfirman kepada kita. Kita tidak terbiasa mendengar Tuhan berbicara seperti
itu, yang memanggil kita kepada perspektif surgawi supaya kita bisa hidup
menghidupi sebuah kehidupan surgawi sementara kita tinggal di bumi ini. Saat
Tuhan berbicara seperti itu lewat seorang pengkotbah maka itu akan menimbulkan
oposisi kalau bukan sebuah penganiayaan, juga terhadap yang menerima perkataan
Tuhan tersebut. Jadi jika kita sungguh sungguh mempertimbangkan dan sungguh
sungguh menerima perkataan Tuhan tersebut, kita akan mengundang oposisi dari
penguasa kegelapan.
Allah mengatakan bahwa “Allah berkenan
menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil” kita perlu mengetahui
bahwa kotbah adalah lambang kebodohan. Jika kita tidak mengerti hal itu, maka
kita tidak mengerti apa itu kotbah yang sejati. Allah mempercayakan sebuah
perkataan surgawi untuk disampaikan lewat bibir duniawi, di sampaikan oleh
seorang manusia yang adalah debu dan yang mengetahui dia adalah benar benar
hanya debu dan yang begitu menyadari akan kelemahannya.
Bagi setiap pengkotbah kebenaran,
pemberitaan firman Tuhan adalah selalu hal yang sangat mendesak karena ini
berhubungan dengan masalah kehidupan dan kematian. Dia merasa ini (kesempatan
berkotbah) adalah cuma hanya sekali dan kesempatan itu tidak akan diberikan
lagi. Dia menganggapnya ini lebih dari sekedar kotbah belaka yang banyak
dikotbahkan para pengkotbah tiap hari minggu yang kotbahnya kosong dan hampa,
tapi dia melihat keabadian di pertaruhkan disini. Pemberitaan firman Tuhan
bukan hanya tanggung jawab seorang pengkotbah, tanggung jawab tersebut juga
diletakan kepada mereka yang mendengar pemberitaan firman Tuhan yang keluar
dari hati Allah sebagai sesuatu yang dihargai dan dihormati.
Bagaimana sikap sebuah persekutuan
dalam meresponi pemberitaan firman Tuhan sangat berpengaruh. Jika mereka duduk
dengan tangan terlipat, pandangan sinis, melihat jam tangan mereka “kapan
kotbah akan berakhir ?”, dan berpikir ini hanyalah sebuah kotbah yang biasa
seperti sebelum belumnya, maka itulah
persis yang akan mereka dapatkan. Tapi jika mereka merasa bahwa ini
(pemberitaan firman Tuhan) hanya bisa mereka dapatkan satu kali dan kesempatan
itu tidak akan diberikan lagi, dan mereka merasa bahwa si pengkotbah benar
benar adalah orang yang di utus Tuhan, maka itu akan mempengaruhi karakter dan
kualitas perkataan yang keluar dari mulut si pengkotbah. Banyak kita menghela
nafas sambil berkesimpulan bahwa si pengkotbah gagal dalam menyampaikan
pemberitaan firman Tuhan, tanpa kita sendiri sadari bahwa sikap kita juga
mempengaruhi firman Tuhan yang disampaikan. Tuhan mungkin akan “menghajar”
sebuah persekutuan akibat mereka tidak menganggap berarti apa yang disampaikan
pemberita firman Tuhan. Ini adalah sebuah penghinaan yang harus dia tanggung
sebagai fungsi dari jabatannya. Itu mungkin hasil kegagalannya, tapi hal yang
sama juga bagi persekutuan tersebut yang gagal dan mengerti apa yang telah
disampaikan.
Apa yang kita lakukan pada sabtu
malam atau sebelum kebaktian berlangsung akan sangat mempengaruhi kemampuan
kita dalam mendengar firman Tuhan dan menanggapinya. Jika kita menonton TV dan
berpikir bahwa tidaklah masalah jika memanjakan diri kita dalam hal hal yang
sama sekali tidak rohani, dan berpikir bahwa Pendeta akan membuat semuanya akan
baik baik saja pada esok paginya, maka dengan sikap kita yang seperti itu kita
sebenarnya sedang menumpulkan roh kita sendiri. Tuhan tidak akan mengakomodasi
sebuah sikap ketidakpedulian dan pola pikir yang duniawi seperti itu. Malam
sebelum kita mendengar kotbah kita seharusnya berlutut, dan meratakan muka kita
dengan tanah, berdoa untuk pemberitaan firman Tuhan esok hari. Apakah kita
memandang apa yang disampaikan adalah sebuah intruksi belaka, ataukah kita
memandang apa yang disampaikan yang berasal dari mulut Allah adalah sesuatu
yang harus hidupi. Kita harus sepenanggungan dengan si pengkotbah dan
mengindentifikasikan diri kita dengan dia dalam panggilan khususnya. Kita harus
merasakan kegemetaran dan kelemahannya. Pengkotbah dan yang mendengarkan
kotbahnya adalah sepenanggungan, dan mereka harus bekerjasama jika kita ingin
mendapatkan firman Tuhan yang sejati. Tuhan tidak akan memberikan firmanNya
jika Dia tidak melihat hati yang ingin di ubahkan oleh firman Tuhan atau bahkan
tidak ingin menderita karena akan merusak kenyamanan mereka.
Pengkotbah kebenaran memiliki sebuah
tugas yang sangat tidak diinginkan. Ini adalah sebuah tugas yang memerlukan
sebuah urapan yang luar biasa, karena jangan sampai kotbahnya hanya dianggap
sebagai sesuatu yang menarik dan menggerakan. Ini adalah Tuhan yang berbicara
melalui manusia, yang menuntut seluruh kehidupan manusia (dalam hal ini
pengkotbah) tersebut. Sesuatu sedang di pertaruhkan saat firman Tuhan
diberitakan. Mereka yang mendengar Paulus berkotbah di Areopagus (kis 17 : 22)
selamanya akan bertanggung jawab kepada
Allah atas apa yang mereka dengar. Untuk mendengar sekali saja kotbah Rasul
adalah cukup untuk bertanggung jawab atas apa yang di dengarnya dan apa yang
didengarnya itu akan mempunyai konsekuensi abadi. Seluruh suasana kehidupan gereja dan
karakter yang terlibat di dalam gereja akan lebih berkualitas, menjadi lebih dalam, menjadi
lebih serius,
dan lebih bermakna jika kita benar memahami fenomena
berkhotbah. Paling tidak kita akan mendukung
dalam doa buat mereka yang di panggil dalam tugas yang luar biasa dan
mengagumkan ini
Orang yang memberitakan firman Tuhan
ini pada saat yang bersamaan dia sendiri adalah kotbahnya. Anda tidak dapat
memisahkan satu dari yang lainnya. Dia bukan semacam antiseptik dan mekanisme
yang tidak memihak. Dia adalah sebuah organisme yang hidup , kredibilitas
perkataannya dan kekuatan penetrasi dari apa yang diucapkannya berkorelasi
dengan “kebenaran orang” yang memberitakan firman Tuhan. Jika dia sendiri tidak
menghidupinya, jika dia sendiri tidak ingin membayar harganya, maka kata
katanya akan jatuh ke tanah. Kotbahnya mungkin akan menarik, tapi kotbahnya
tidak akan menuntut. Anda tidak dapat menuntut sesuatu dari orang lain yang
anda sendiri tidak berikan.
Pemberitaan firman Tuhan bukanlah
sebuah tugas professional tapi rohani. Si pengkotbah berintegral (terpadu atau
tidak terpisahkan) dengan apa yang disampaikannya. Bisa jadi kita mendapatkan
kotbah yang dangkal, hal ini dikarenakan karena si pengkotbah juga menjalani
sebuah kehidupan yang dangkal. Karena mereka (para pengkotbah) terus
menghindari dan menjauhi segala macam ancaman dan tantangan yang akan membawa
mereka lebih lagi dalam lagi mengenal Tuhan di sekolah penderitaan. Mereka
tidak ingin untuk memasuki sebuah persekutuan di dalam penderitaan Kristus.
Mereka tidak ingin mengalami penghinaan dan kekecewaan. Jadi mereka menjaga
diri mereka sedemikian rupa untuk tidak mengikuti jejak penderitaan Kristus,
dan karena itu mereka tidak dapat memahami bagaimana sebenarnya firman Tuhan
itu menuntut seluruh kehidupan seseorang. Singkatnya, seorang pengkotbah sejati
adalah seorang penderita. Dia tidak hanya menderita saat dia menyampaikan
firman Tuhan, tapi dia juga menderita sebelum dia menyampaikan firman Tuhan.
Saya curiga dengan setiap orang yang
menuju mimbar yang tampak telah memiliki “semuanya sekaligus”, yang tidak sabar
untuk membuka alkitabnya dan mengkotbahkannya. Saya meragukan apakah seseorang
seperti itu adalah seorang pengkotbah kebenaran. Kesannya jauh dari lemah
lembut dan rendah hati yang disukai Kristus. Di generasi Charles Spurgeon
mimbar di sebut “meja kudus. Anda akan melakukan sebuah tanggung jawab kudus
dimana seorangpun tidak mampu. Di kehidupan gereja kontemporer kita, mimbar
tidak lebih dari sebuah furniture dimana anda meletakan alkitab dan kertas.
Fungsi pertama dari pemberitaan
firman Tuhan adalah membawa kematian. Ini adalah firman yang harus selalu
membunuh sebelum menghidupkan. Tapi jika anda adalah “orang baik baik” dan tidak
ingin menyinggung siapapun, maka anda telah menolak sebuah kemungkinan
terjadinya sebuah hidup yang telah dibangkitkan lewat pemberitaan firman Tuhan.
Jika anda tidak dapat tahan melihat seseorang tidak nyaman, anda
mendiskualifikasi diri anda sendiri sebagai seorang pengkotbah. Pengkotbah
kebenaran perlu memiliki pengalaman rasa sakit dari kematian di dalam dirinya
yang memampukan dia menyampaikan firman yang “mematikan”. Dan hanya karena
itulah maka hal itu dapat menjadi firman yang menghidupkan. Jika dia selalu
memikirkan apakah dia dapat diterima atau dimengerti, dia dapat melupakan
apapun tentang kata kata penebusan yang dapat menghidupkan seseorang. Dia harus
mati terhadap teguran dan penolakan dari umat Allah.
Kita dapat menolak setiap
pemberitaan firman Tuhan sebagai firman Tuhan jika firman Tuhan yang
diberitakan menghindari atau menolak salib, di mana pemberitaan firman Tuhan
tersebut didalamnya tidak ada keinginan untuk menderita karena kekecewaan,
tidak ada keinginan untuk menimbulkan
rasa sakit. Kita hidup di kultur kekristenan yang gampangan dimana setiap orang
ingin pulang dari gereja dengan bahagia. Kita lebih suka berkotbah yang membawa
kesenangan daripada berkotbah yang mendatangkan kesakitan dan pederitaan, yang
dengan kata lain kita menolak salib. Dimana kebaktian harus menjadi sesuatu
yang dapat dinikmati, bukan sesuatu yang membuat jemaat gelisah karena kotbah
kita meninggalkan sebuah pertanyaan yang belum terjawab. Berapa banyak Pendeta
pendeta kita yang bertindak berdasarkan kepentingan mereka bukan kepentingan
Tuhan (takut jemaat hilang dsb nya), mereka tidak ingin melihat jemaat gelisah
dan tersinggung. Mereka ingin semuanya dibungkus dan dikemas dengan baik dalam satu paket kebaktian yang tujuannya
membuat jemaat pulang dengan bahagia. Tapi seorang pengkotbah kebenaran akan
memberitakan firman Tuhan yang sepertinya tidak akan membuat orang pulang ke
rumah dengan bahagia, kotbahnya mungkin akan membuat orang merasa terganggu
atau kacau yang menyebabkan mereka untuk mendalami, memahami lebih lagi firman
Tuhan yang membawa kematian tersebut.
Pengkotbah harus hidup dengan rasa
tegang karena bagaimanapun dia telah menyiapkan dengan sungguh sungguh firman
Tuhan yang akan disampaikan, dia mungkin melewatkan sesuatu di dalam firman
Tuhan yang dipersiapkannya tersebut. Atau bahkan saat dia menyampaikan firman
Tuhan, dia mungkin mengacaukannya karena ada sesuatu yang salah yang dia
katakan saat sedang menyampaikan firman Tuhan. Hal itu mungkin akan menumpulkan
apa yang disampaikan atau bahkan bertentangan dengan apa yang ingin disampaikan
sebenarnya, ini mungkin akan memberikan alasan kepada mereka yang mendengarnya
untuk tidak meresponi sungguh sungguh firman Tuhan karena mereka menemukan
cacat pada apa yang disampaikan pengkotbah. Ini adalah penderitaan luar biasa
yang unik akibat berkotbah dan bagi fungsi pengkotbah. Berapa banyak dari kita
secara naluriah dengan cepat mencari kekurangan dan kegagalan dari seorang
pengkotbah yang membuat kita punya alasan untuk menolak firman itu sendiri ?
Rasa rapuh, rasa lemah dan rasa tak
berdaya adalah sebuah hakiki atau dasar dari kotbah yang benar. Dia mungkin
terlihat jantan dan berwibawa, tapi didalam hatinya sendiri dan lewat
pengalamannya dia menyadari bahwa dia adalah seorang anak manusia. Dan bahkan
saat dia berbicara, dia merusak sendiri apa yang sedang disampaikannya dengan
ilustrasi yang tidak sengaja disampaikannya, infleksi yang salah atau sesuatu
yang akan membuat pendengarnya tidak menanggapi friman Tuhan yang
disampaikannya dengan serius. Definisi saya untuk seorang yang benar adalah
mereka yang secara sukarela memberikan dirinya kepada sebuah pengertian bahwa
hidup dengan “rasa tegang” adalah sebuah bentuk dasar penderitaan dari
kehidupan iman itu sendiri.
Paulus berbicara tentang
“Memberitakan Kristus” ini tidak berarti bahwa setiap kotbah harus tentang Dia
(ini bukan berarti tidak berpusat pada Kristus). Memberitakan Kristus adalah secara implisit kotbah
tersebut berpusat
pada Kristus bahkan ketika Dia tidak secara eksplisit menjadi subjek dari kotbah
tersebut. Jika itu sungguh sungguh firman Tuhan, maka Kristus sedang
diberitakan. Dengan kata lain, siapa Dia didalam DiriNya, apa yang Dia
representasikan di dalam DiriNya, esensi keilahianNya dan kemanusiaanNya sedang
disampaikan dalam kotbah tersebut.
Banyak yang dapat dikatakan tentang
persiapan bagi seorang pengkotbah, bukan pembentukan kotbahnya, tapi
pembentukan karakternya, hidupnya dan hubungan dia dengan Tuhan.Dia butuh
sebuah kesendirian, tidak terlihat, persekutuan dengan Tuhan di setiap harinya.
Seperti apa seseorang dihadapan publik adalah menunjukan seperti apa dia di dalam
kesendiriannya. Jika persekutuan dan hubungannya dengan Tuhan tidak otentik,
tidak setiap hari, tidak berkesinambungan, maka kecil kemungkinannya dia dapat
menjadi seorang pemberita firman Tuhan. Inilah sebabnya kita dapat mendengar
sebuah kotbah yang membahas hal yang sama dari dua orang pengkotbah. Saat kita
mendengar yang satu mulut kita menguap saat kita mendengar kotbahnya dan bosan,
sementara saat kita mendengar pengkotbah yang satunya lagi kita merasa tercekam
dan kotbahnya menembus hati kita. Perbedaan di anatara keduanya adalah yang
terakhir mempunyai persekutuan tiap hari yang terus menerus dengan Tuhan.
Bersekutu bukanlah bersukutu jika kita berskutu dengan Tuhan jika hanya untuk
mendapat sebuah ayat atau pesan untuk dapat dikotbahkan. Ini adalah roh utilitarian, ini adalah sebuah
transaksi komersil dan bukan lagi sebuah persekutuan.
Saat Yesus bersekutu dengan Bapa
didalam doa dan mempunyai hubungan yang penuh pengabdian pada Bapa, tujuannya
bukanlah untuk dapat menerima instruksi pada hari itu. Tapi saat hari yang
cerah tiba tiba suram, banyak yang harus di tuntut kepada Dia pada hari itu,
maka persekutuanNya dengan Bapa yang didasari pengabdian akan terekspresikan di
hari itu. Jika anda adalah seorang religious professional anda tidak akan punya
waktu untuk sebuah kehidupan penuh pengabdian dan sebuah persekutuan dengan
Bapa seperti itu. Anda akan sibuk dengan baerbagai macam hal dan karena anda
mengabaikan itu maka hal itu akan mempengaruhi otoritas dan penetrasi dalam
kotbah yang anda sampaikan.
Seorang pengkotbah kebenaran akan
mempercayai Tuhan tentang apa yang akan disampaikannya. Jika Tuhan
memberitahukan apa yang harus disampaikannya, Dia akan menjadi alpha dan omega
dari kotbah tersebut. Dia yang memberikan permulaan yang biasanya berderit dan
tapi Dia juga yang mengakhirinya. Pengkotbah seperti itu tidak bertumbuh diatas
pohon. Mereka (para pengkotbah) datang dari sebuah persekutuan organik dengan
orang orang percaya lainnya. Saat mereka berkotbah pertama pertama kali
berkotbah biasanya kotbahnya campuran antara daging dan roh. Oleh karena itu
mereka membutuhkan sebuah lingkungan yang penuh kasih yang dapat mengkoreksi
kesalahannya pada saat yang tepat. Dan jemaat dapat mendengar dan menerima
kotbahnya dengan tidak berniat untuk
menjatuhkannya, tapi menguatkannya untuk terus bertumbuh dan dewasa.
Gereja itu sendiri adalah sebenarnya faktor kunci untuk menyediakan sebuah
lingkungan dimana sebuah pengkotbah kebenaran sejati dilahirkan.
Untuk melahirkan para pengkotbah
kebenaran di hari hari terakhir ini adalah sebuah karya Tuhan yang indah. Tapi
hal ini tidak akan terjadi tanpa partisipasi dari orang orang kudus yang
mengerti dan memahami proses kelahiran para pengkotbah tersebut dan bersedia
memberikan diri mereka dalam proses kelahiran para pengkotbah kebenaran
tersebut. Ada perlunya kita memberikan kesempatan kepada mereka walaupun kadang
itu tidak memberikan keuntungan bagi kita. Mereka mungkin menyia nyiakan sebuah
kebaktian yang berpotensi untuk menjadi sebuah kebaktian yang luar biasa ! Jadi
membutuhkan kedewasaan jemaat yang tidak berorientasi pada suksesnya sebuah
kebaktian untuk dapat menerima seorang pengkotbah yang belum matang yang sedang
dalam proses, sampai suatu hari nanti dia akan sampai pada suatu titik dapat
menyampaikan firman Tuhan dengan benar.
Pengkotbah kebenaran tidak hanya
menyampaikan firman Tuhan, tapi juga suara Tuhan. Betapa sering kita membaca di
kitab suci ratapan Tuhan kepada Israel. “Mereka gagal untuk mendengar suaraKu”.
Ada sesuatu tentang tekstur suara Tuhan yang timbul dalam sebuah kotbah yang
benar yang akan membawa sebuah dimensi, sebuah daya yang meyakinkan dan sebuah
kesungguhan yang terdengar. Anda hampir dapat mengatakan dimana seorang dalam
alam roh dari nada suaranya. Ini adalah sebuah petunjuk seberapa dalamnya Allah
berkarya di seseorang dimana akan mempengaruhi suara yang keluar dari si
pengkotbah tersebut. Si pengktobah seperti “menyatu” dengan apa yang
sampaikannya. Suara Tuhan dan firman Tuhan yang disampaikan adalah sebuah
pernyataan berapa dekat hubungan antara si pengkotbah dengan Tuhan. Ini akan
tercermin dari keinginginannya untuk bergumul dengan Tuhan yang akan membuat
dia lebih dalam, menampinya dan memurnikannya. Ketaatan untuk menyampaikan
firman Allah menyiratkan bahwa ekpresi dari apa yang disampaikan juga dalam
mood (suasana hati) yang Tuhan berikan. Hidup kita bukan milik kita sendiri,
begitu juga mood kita dan emosi kita bukan lagi milik kita. Karena itu Tuhan harus jadi pemilik penuh
atas pikiran, tubuh, jiwa dan roh kita dalam rangka kita bisa menjadi pemberita
firmanNya.
Sesuatu harus dilakukan dalam
kekristenan untuk membangkitkan mereka yang akan menjadi pemberita firman
Tuhan, pengkotbah kebenaran di setiap tempat di generasi kahir ini. kebutuhan
saat ini adalah mereka yang mau untuk masuk “sekolah kotbah” untuk bergumul
dengan Tuhan, untuk salib Tuhan, untuk penderitaan Tuhan. Firman Tuhan
disampaikan lewat mulut yang dapat dipercaya supaya umat Tuhan dapat diberi
makan, di pelihara, di beri pupuk, ditantang, diubahkan, disiapkan dan mampu
melakukan mandat yang diberikan bagi gereja di
hari hari terakhir. Ada sebuah dunia di luar sana yang sekarat karena
kekurangan pengkotbah kebenaran, kekurangan mereka yang menyampaikan firman
Tuhan yang lebih dari kotbah kotbah biasa dan hampa dan tidak lebih dari pidato
alkitabiah. Seluruh manusia sekali lagi butuh melihat dan mendengar wacana
surgawi turun dari atas, menjelma dan di ekspresikan melalui kelemahan seorang
pengkotbah yang cuma manusia.
Comments