Kebudayaan Tandingan - John Stott

Dewasa ini tampil lagi orang orang yang menolak kemewahan barat yang serakah dan tamak itu, yang tampak makin gendut dan gendut lagi dengan cara menjarah lingkungan alami atau mengeksploitasi bangsa bangsa yang sedang berkembang atau dengan melakukan kedua duanya sekaligus. Dan para penolak itu menunjukan kemutlakan penolakan penentangan mereka dengan cara hidup yang sederhana, berbusana sembarangan, bertelanjang kaki dan menghindari pemborosan.

Dalam kebencian mereka terhadap pergaulan borjuis yang berpura pura itu, mereka haus akan suatu hubungan timbal balik yang dirasuki oleh kasih. Mereka muak terhadap kecetekan, baik kecetekan materialisme maupun kecetekan agama yang konformis yang sudah berkompromi dengan dunia, sebab mereka peka sekali akan realitas menakjubkan yang jauh lebih hebat daripada hal hal yang sepele ini dan mereka berusaha menemukan dimensi “transendental” yang selalu mengelakan diri melalui meditasi, narkotika atau seks. Kompetisi “rat race” (adu sikut menyikut untuk memperebutkan rejeki) selaku konsep saja sudah membuat mereka sedemikian jijik sehingga mereka menganggap lebih terhormat menjadi “drop out” daripada mengambil bagian di dalamnya. Semuanya ini merupakan pertanda ketidakmampuan generasi muda untuk menempatkan diri dalam status quo atau menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang sedang berlangsung. Mereka merasa tidak betah, mereka merasa dunia ini sudah asing bagi mereka.

Dan dalam usaha mereka mencari alternatif  maka istilah yang mereka pakai adalah “counter culture” (kebudayaan tandingan). Bagaimanapun juga orang kristen menganggap pencarian akan suatu kebudayaan alternatif ini sebagai salah satu pertanda zaman yang paling memberikan harapan, bahkan mendebarkan sebab kita mengenali dalamnya kegiatan Roh Kudus, yang sebelum menjadi Penghibur pekerjaan-Nya adalah menggelisahkan dan kita tahu ke siapa pencarian itu akan membawa mereka jika mereka ingin menemukan keberhasilan. Memang berarti sekali, tatkala Theodore Roszak bergelut mencari kata kata yang tepat untuk melukiskan realitas yang di cari muda mudi yang hidup dengan anggapan bahwa dunia sudah asing bagi mereka akibat tuntutan objektivitas yang terlalu dititikberatkan oleh para ilmuwan, dia terpaksa memakai kata kata Yesus dalam Matius 16:26 “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?”

Namun bersamaan dengan harapan yang di timbulkan oleh iklim protes dan pencarian ini dalam hati orang kristen ada juga (seharusnya ada) semacam perasaan malu, sebab jika muda mudi masa kini cenderung mencari hal hal yang sejati (makna, kedamaian, kasih, realitas) maka mereka mencarinya di tempat tempat yang keliru. Tempat yang seharusnya mereka prioritaskan dalam pencarian mereka, adalah justru tempat yang secara otomatis mereka hindari, yaitu gereja. Sebab terlalu sering mereka lihat dalam gereja bukan suatu kebudayaan tandingan, melainkan semata mata konformisme. Bukan masyarakat baru yang membiaskan apa yang mereka dambakan secara dinamis, melainkan versi lain dari masyarakat bobrok yang telah mereka tolak. Bukan kehidupan melainkan kematian. Kini akan mereka topang sepenuhnya apa yang dikatakan Yesus tentang gereja pada abad pertama “.. engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati!” (Wahyu 3:1)

Gawatnya bencana ini bukan saja harus kita simak, melainkan harus kita hayati sedalam dalamnya, harus kita rasakan sampai ke ubun ubun kita. Sebab jika gereja telah menyesuaikan dirinya kepada dunia, sudah sama dengan dunia dan kedua komunitas itu menampakan diri kepada orang luar sebagai semata mata dua versi dari hal yang sama, maka gereja sendiri sesungguhnya telah mengkhianati identitasnya yang sejati. Bagi orang kristen tidak ada ucapan yang lebih menusuk hati daripada tudingan “Ah kau juga tidak beda dari orang lain!”

Sebab tema hakiki seluruh alkitab dari awal sampai akhir ialah bahwa tujuan Allah dalam sejarah adalah memanggil orang orang menjadi suatu umat bagi-Nya, bahwa umat ini adalah suatu umat yang suci, yang dipisahkan dari dunia untuk menjadi milik-Nya dan untuk mematuhi-Nya ; dan bahwa panggilan umat ini ialah untuk menjadi setia kepada identitasnya, artinya suci atau lain dalam segala wawasan dan tindak tanduknya.


Comments

Popular posts from this blog

Masih Adakah Pewahyuan Sekarang Ini?

Sebuah Biografi Singkat Mengenai Kehidupan John Wesley

Pengertian Kelahiran Kembali (Regenerasi) dan Efek yang mengikutinya