SMIRNA, KETIKA IMAN MENAGIH UTANG - Eka Darmaputera
Membicarakan
keistimewaan Smirna bisa tak ada habis-habisnya. Ini tentu tak akan kita
lakukan. Akan tetapi, ada beberapa hal yang memang harus dikatakan.
Misalnya
bahwa di kota ini hadir sebuah komunitas Yahudi yang cukup besar, kaya, dan
berpengaruh. Kehadiran komunitas inilah yang menampilkan sosok Smirna yang
samasekali lain, khususnya bagi orang-orang Kristen. "Mahkota Asia"
yang elok ini tak lagi bagaikan kembang musim semi yang menyebar bau wangi ke
mana-mana, tapi berubah menjadi raksasa bengis yang memuncratkan banyak darah
ke segala arah. Darahnya para martir. Orang-orang Yahudi melihat "sekte
Kristen" ini sebagai penyakit sampar yang amat berbahaya, yang mesti
secepatnya dibasmi sampai tuntas-tas dan habis-bis. Supaya lebih efektif,
mereka pun meminjam tangan penguasa Romawi.
Di
kota inilah, di Smirna, penganiayaan terhadap orang-orang Kristen terjadi amat
intensif, sangat kejam dan paling menumpahkan darah. Di kota inilah, di Smirna,
kisah-kisah kepahlawanan para martir yang paling dramatis terjadi. Sebab itu
saya sebut Smirna sebagai simbol keadaan, ketika iman menagih hutang, dan
ketika mereka yang mengaku beriman mesti membayarnya- -tunai. Smirna adalah
representasi situasi tatkala kesetiaan diuji sampai ke batas, dan orang-orang
percaya mesti membuktikannya- -saat itu juga. Karena itu, Smirna adalah
peringatan, betapa stiker-stiker seperti--We are a successful
"family!"--tak selalu tepat kita lekatkan di kaca belakang mobil
kita. Sebab kekristenan tidak cuma kisah sukses. Tidak cuma itu. Dan tak selamanya
begitu.
Ini
nyata pada kisah Polikarpus, Uskup Smirna, yang mati sebagai syuhada, pada hari
Sabtu 23 Februari, tahun 155. Hari itu adalah hari raya. Kota Smirna penuh
sesak. Orang-orang yang berjejal di stadion sedang berada di puncak keriaan dan
keliaran mereka. Tiba-tiba terdengar teriakan, "Para ateis mesti dibasmi!
Cari Polikarpus, lalu bawa ke sini!" Teriakan yang bermula dari salah satu
sudut, segera membahana menjadi teriakan histeris seluruh arena.
Di
mana Polikarpus? Sebenarnya dengan amat mudah ia dapat menyelinap ke luar kota
dan menyelamatkan diri. Tapi ini tidak dilakukannya, sebab melalui mimpi ia
memperoleh penglihatan tentang bantal yang terbakar. Ia yakin, "Aku akan
dibakar hidup-hidup. " Tempat persembunyiannya diketahui setelah seorang
budak Kristen, karena tak tahan siksaan, terpaksa mengaku. Polikarpus segera
digelandang ke penjara. Tapi di sini ia memperoleh perlakuan yang baik. Sebab
sampai kapten yang menjaganya pun tak ingin melihat orang baik ini mati.
Pada
hari itu, dalam perjalanan pendek dari penjara ke stadion, kapten itu terus
membujuknya, "Polikarpus, apa sih susahnya mengatakan ‘Kaisar itu Tuhan,’
mempersembahkan korban dan membakar dupa, tapi Anda selamat?" Toh
Polikarpus bersikeras. Baginya hanya Yesus Kristus, dan tak ada yang lain,
adalah Tuhan.
Ketika
memasuki arena, konon terdengar suara dari sorga, "Kuatkan hatimu,
Polikarpus, bersikaplah sebagai lelaki sejati!" Penguasa kota memberi
kesempatan terakhir untuk memilih: mengutuki Kristus serta membakar dupa untuk
Kaisar, atau mati. Menanggapi ini, meluncurlah jawaban Polikarpus yang amat
terkenal itu, "88 tahun aku melayani-Nya, tak sekalipun Ia mengecewakan
aku. Bagaimana mungkin aku menghujat Rajaku yang telah menyelamatkan aku?"
Penguasa
Smirna balas mengancam dengan hukuman bakar, yang kembali ditanggapi oleh
Polikarpus dengan gagah berani, "Anda mengancam aku dengan api yang
menyala seketika lalu padam, karena Anda tidak mengenal api abadi yang tak
pernah padam, yang menunggu orang-orang jahat di pengadilan yang akan datang.
Anda tunggu apa lagi? Lakukanlah segera apa yang Anda mau."
Mendengar
itu, dibakar oleh rasa geram, berbondong-bondonglah mereka yang hadir,
mengumpulkan kayu bakar dari mana-mana. Tarmasuk orang-orang Yahudi, walaupun
mereka tahu hari itu adalah hari Sabat. Begitulah, saudara. bila kebencian
telah menguasai akal sehat dan hati nurani. Walau mereka amat beragama.
Sewaktu
mereka ingin mengikatnya, Polikarpus menolak. "Tak perlu," begitu
katanya, "Ia yang memberiku kekuatan untuk tahan terhadap api, pasti akan
memberiku kekuatan untuk bertahan dalam nyalanya, sehingga pantang aku
melarikan diri sekalipun kalian tak mengikatku." Lalu api pun mulai
berkobar, dan suasana hening meliputi arena. Semua yang hadir terpana mendengar
doanya--bukan doa ratapan melainkan doa pujian!
"Ya
Allah yang Maha Kuasa, Bapa dari Putra-Mu yang mulia dan tercinta, Yesus
Kristus, yang melalui-Nya kami memperoleh pengetahuan yang penuh tentang Dikau;
Allah semua malaikat dan kuasa; Allah segala ciptaan dan segenap keluarga
orang-orang benar yang hidup di hadapan-Mu. Aku memuliakan-Mu karena telah
Kaukaruniakan kepadaku hari ini dan saat ini, di mana aku diperkenan mengambil
bagian, bersama-sama dengan para syuhada yang lain, minum dari cawan Kristus
... Saat ini aku mohon, berkenanlah Dikau menerimaku sebagai korban yang layak,
sama seperti Dikau telah menerima mereka ... Maka aku akan memuliakanMu di
dalam segala perkara. ... Amin."
Sampai
di sini adalah fakta. Sedangkan yang berikut ini adalah legenda. Api besar yang
berkobar-kobar itu konon justru menjadi tenda pelindung bagi Polikarpus.
Sehingga untuk membunuhnya, seorang algojo harus menikamnya dengan pedang. Dan,
menurut yang empunya cerita, dari lubang luka bekas tikam itu, keluarlah burung
merpati dan darah yang amat banyak. Begitu banyaknya, sehingga memadamkan api
yang menyala-nyala.
*
* *
Berbeda
dengan Efesus, saya akui, jemaat Smirna tidak memberikan kesan sebagai jemaat
yang "wah." Kesetiaan, saudara, biasanya memang tidak
gilang-gemilang. Tapi kepada jemaat seperti inilah, dengan lembut Tuhan datang
seraya menyapa, "Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu- -namun engkau
kaya. Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita. Hendaklah engkau
setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan."
Setia
sampai mati. Alangkah manis selalu kisah-kisah tentang kesetiaan, bukan? Tapi
sekaligus, alangkah langkanya! Saya sempat bertanya-tanya, apakah kata itu
masih tercantum di Kamus Umum Bahasa Indonesia. Apakah kesetiaan masih berharga
dalam kehidupan pribadi Anda, dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, bakan
bergereja kita?
Namun
apa pun yang terjadi, anugerah Tuhan hanya bisa disambut dengan iman. Dan iman
menuntut kesetiaan. Tak sedikit pun kurang dari itu. "Siapa bertelinga
hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepadanya." (SH-160302)
Comments