ERA SAMPAH – Verga Agustinus

Kita berjumpa tapi tak bertegur sapa
Kalaupun kita bicara, tanpa rasa, tertawapun hampa
Kita berdesakan dalam angkutan kota, tapi tak saling bicara
Kita bercinta tanpa jiwa, pergi entah kemana
Hingga kita bertemu dan sekedar senyum
lalu berpisah dan menyadari atau tak menyadari bahwa..
makna-makna sudah mati, arti sudah mati
karena kita asyik memperbudak diri dan terasing karenanya

Ada lubang hitam di era perzinahan massal global
sampah yang bersembunyi di balik topeng citra
Sintesis pesta pora seks jablay-jablay penguasa rimba dengan iblis
sampah yang wira-wiri di layar kaca,
Di layar monitor, di billboard pinggir jalan, di lembaran-lembaran
Sampah-sampah yang mewarnai hari-hari kita
Saat bicara, saat melihat, saat mendengar
Bicara daging, melihat daging, mendengar daging
Mengejar daging, bermimpi daging
Dan akhirnya kembali ke lubang hitam

Aku terjebak dalam spiral seks binal yang banal
Ritual ekstase pemujaan tuhan angka-angka
Hanyut dalam derasnya sungai pengakumulasian profit,
Arus pesta pora konsumtif, kompetisi jablay-jablay rimba,
fetisisme lembu emas digital, eksistensi tanpa esensi,
 yang bermuara di jurang tanpa dasar
Bisingnya gelombang zaman adalah sunyinya makam manusia sejati
Terpaku oleh hipnotis lubang hitam di depan layar kaca
Sebuah pulau di tengah samudra over populasi yang bergelora
Pengembara di tengah gurun peradaban yang kian membusuk

Mencoba cari perteduhan
Mengadu pada sunyi yang semakin tersingkir
dan terus tersingkir karena menolak jadi jablay
Karena itulah kuangkat dia jadi ibuku
Bersama kita menangis
Rindu keabadian
Akhir dari materi
Akhir dari lubang hitam
Rindu suatu akhirnya, dimana,
Akhirnya tinggal kita berdua

Maafkan kalau kata kata saya terkesan tak sopan, kasar, dan jorok. Tapi saya benar2 tidak bisa menemukan kata2 lain yang lebih tepat dan lebih halus untuk menggambarkan era dimana kita hidup sekarang. Era banalitas (ketiadaan makna). Era dimana masyarakat tak rela jadi penonton pasif, tapi mereka berlomba-lomba menjadi narasumber infotainment. Berlomba-lomba ingin ditonton melalui jejaring-jejaring social dunia maya.. termasuk saya sendiri. Berlomba menjadi citra-citra seperti yang selama ini sering mereka saksikan di tv. Suatu era dimana sampah bisa disulap oleh tentakel-tentakel gurita kapitalisme global, menjadi komoditi yang bisa ditayangkan di tv, sejauh itu bisa memancing emosi penonton untuk tetap terpaku di depan layar.

Ya, kita hidup di era dimana segala sesuatu bisa dikomersilkan. Tak hanya sampah festival kebejatan moral (percabulan para artis atau pejabat, lelucon porno, tingkah polah para banci, caci maki dan bogem elit-elit politik, badut-badut berkostum kuntilanak, adu sumpah serapah antara menantu dan mertuanya, perjodohan kucing dalam karung, iklan-iklan komersil, dll ), tapi nilai-nilai luhur, humanis, sacral, religious, politis, ideologis, moral, tragedy, penderitaan, bisa disulap oleh gurita korporasi menjadi komoditi entertainment yang layak ditayangkan di tv.

Berkat tv juga kita mencurahkan segenap daya dan energy melakukan pekerjaan yang tidak kita sukai, untuk membeli barang yang tidak kita butuhkan, demi prestise semata.

Mengapa era banalitas? Karena tidak ada lagi pencarian makna akan kebenaran sejati. Aliran sungai sampah revolusi teknologi informasi dan komunikasi, yang bermuara pada samudera pengakumulasian profit semata. Dan kita semua terseret oleh alirannya, menuju kehampaan.

Ya kita terseret arus sungai sampah itu karena pada akhirnya, kesadaran akan identitas kita sebagai manusia sejati (segambar dan serupa dengan Pencipta), perlahan tapi pasti terdistorsi oleh tayangan-tayangan tv. Relasi social antar kitapun yang esensinya adalah cinta, akhirnya terpolusi total oleh motif bisnis semata. Atau hanya sebatas kata2 remeh temeh di beranda jejaring social dunia maya. Tiada lagi cinta sejati. Semua cari nyaman sendiri.

Aku tersentak oleh kesadaran ini, dan berusaha melawan arus. Susah payah aku berenang, hingga akhirnya aku sampai ke tepian. Dan di tepi sungai aku terkapar sendiri, teralienasi, dan semakin terasing,  sementara orang-orang berlomba-lomba terjun ke sungai. Aku berusaha mencegah mereka agar tak terjun ke sungai.. tapi percuma..tiada yang menghiraukan.. mereka malah bilang kalau aku ini pecundang, nggak gaul, anti modern., jadul, primitive, konservatif..

Maka akupun berteriak-teriak memanggil namaMu.. agar Kau datang untuk menemani kesepianku.. karena tidak ada lagi manusia di daratan... sementara hari semakin senja .. dan cahaya semakin redup..redup .. dan akhirnya kegelapan yang paling gelap.




Comments

Popular posts from this blog

Masih Adakah Pewahyuan Sekarang Ini?

Sebuah kajian kritis terhadap doktrin pre-tribulasi rapture

Sebuah Biografi Singkat Mengenai Kehidupan John Wesley