Apa yang sudah kita korbankan (bagian 2) – Verga Agustinus

Demikian pulalah tiap-tiap orang diantara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu’, ( Lukas 14 : 33 )

Suasana ramai disebuah stasiun kereta semakin heboh ketika seorang gadis berjalan panik mondar-mandir mencari sesuatu, dan menanyai hampir setiap orang. Hingga akhirnya ia menangis histeris ketika menyadari bahwa handphone yang diletakan ditasnya telah hilang, lenyap, dicuri. Setelah tangisnya mereda, saya sempat mendengar bahwa dia akan melapor kepada kepolisian, dan akan menggugat pihak manajemaen dan keamanan kereta.

Saat itu, di dalam hati saya tidak habis pikir bagaimana dia bisa bereaksi sampai sedemikian rupa, dan sempat menganggapnya konyol, karena kejadian seperti itu sudah cukup ‘lazim’ terjadi pada penumpang KRL Jabodetabek. Namun terutama adalah karena saya sendiri belum pernah mengalaminya.Namun saya baru memahami reaksi gadis tersebut ketika suatu kali saya kehilangan uang duaratus ribu iuran bulanan customer yang dipercayakan kepada saya untuk disimpan.

Kepanikan saya terutama bukan sekedar ditegor oleh pihak manajemen, tetapi tertutama adalah sanksi, bahwa saya harus mengganti kehilangan uang itu, dari pemotongan gaji bulanan. Mungkin bagi sebagian besar anda, uang duaratus ribu tidaklah seberapa, tetapi bagi saya itu adalah jumlah yang sangat signifikan. Itu berarti pengiritan luar biasa pada pengeluaran bulanan. Itu berarti kehilangan peluang untuk jajan, membeli buku baru, sekedar rekreasi, atau untuk tambahan tabungan. Dan itu juga berarti rencana untuk membeli motor harus diundur lagi, sehingga saya masih harus rela untuk berjalan kaki, naik turun angkutan kota, berdiri berdesakan, dan menunggu lama.

Seumur hidup saya baru pertama kali mengalami hal seperti itu, sehingga perasaan panik dan kehilangan itu membekas begitu rupa dan sulit untuk mengalihkannya dengan menghibur diri lewat berbagai cara, walau sesaat. Saya tak bisa berhenti merenungkannya hingga merasa tak bergairah melakukan apapun, selain menyesali diri dan meratap. Sampai suatu ketika saya membaca sebuah buku yang terinspirasi dari ajaran Budha.

Di buku itu dikatakan bahwa sumber dari perasaan tidak damai sejahtera yang saya dan gadis itu alami adalah ‘ilusi kepemilikan’..Ilusi kepemilikan menyebabkan kita mengidentifikasikan diri dengan benda yang kita miliki. Misalnya, kita merasa diri gaul dan modern dengan handphone terbaru kita yang sedang popular saat ini, dan merasa rendah diri dengan handphone lama kita yang dianggap ‘jadul’.

Ilusi kepemilikan menyebabkan kita mengkonsumsi suatu barang berdasarkan ilusi citra apabila kita memiliki barang tersebut bukan utilitasnya. Misalnya kita ingin memiliki sebuah mobil tertentu berdasarkan prestise, atau agar dianggap sukses, bukan karena kegunaannya. Padahal kita sudah memiliki motor bahkan mobil. Tapi kita menganggap bahwa motor dan mobil kita yang lama kurang bergengsi.

Ilusi kepemilikan menyebabkan kita mengalami kedamaian semu yang sebenarnya adalah kebanggan temporer ketika memiliki benda-benda tersebut. Dan ketika kita kehilangan benda-benda tersebut kita merasa suatu kehampaan yang luar biasa. Padahal yang sesungguhnya adalah kita tidak rugi sedikitpun ketika tidak memilikinya, dan tidak kelebihan sedikitpun ketika memperolehnya. Identitas asali kita ( yang tidak kita sadari ) tetap tidak berubah ketika kita memiliki atau kehilangannya.

Ketika di ambang pintu kematian maka kita baru menyadari, bahwa segala materi, ambisi, jabatan, prestise, dan kesenangan duniawi yang kita kejar dan kita miliki sudah tidak ada artinya lagi. Hasrat korporasi untuk mengakumulasi profit, dinamika pasar, promosi masiv melalui media massa, adalah hal-hal yang melahirkan asumsi ‘trend’. Lingkungan social mencerna ‘trend’ sebagai sesuatu yang harus dikejar dan diikuti. Yang mana jikalau kita tertinggal olehnya maka kita akan mengalami ( lagi-lagi ) ilusi alienasi, atau keterasingan. Akibatnya, lahirlah masyarakat konsumtif yang egois, gelisah, dan rakus. Masyarakat yang mengejar kedamaian semu semata, dan kehilangan damai sejahtera yang sejati.

Maka menurut buku yang saya baca itu, untuk mengalami kedamaian sejati seseorang harus mematikan ilusi kepemilikan dan ego. Sehingga ia merasa tidak memiliki atau kehilangan apapun ketika handphone, kemapanan, atau kenyamanannya hilang.

Saya kemudian menanyakan hal itu kepada kawan saya yang dulunya adalah penganut Budha sebelum menjadi Kristen. Dan jawabannya sungguh mengejutkan. Dia bilang semua agama juga berpandangan seperti itu, termasuk Kristen ( namun kita meyakini bahwa kekkristenan bukanlah agama). Namun yang membuat Kekristenan menjadi sangat berbeda adalah bahwa Sang pencetusnya, yaitu Yesus Kristus, tidak sekedar mengajarkan dengan kata-kata.. Ketika Ia mengatakan

“ Demikian pulalah tiap-tiap orang diantara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu’, ( Lukas 14 : 33 ) “,

Ia sudah melakukannya.. Terbukti Ia sudah meninggalkan sorga dan ‘status keTuhananNya’ dengan lahir di bumi sebagai manusia, dan lahir di keluarga yang miskin pula, dan di kandang domba pula. Dan puncakNya adalah ketika Ia memberikan nyawaNya, seluruh hidupNya untuk dikorbankan di kayu salib bagi umat manusia. Dan jika Ia tidak melakukannya, maka tidak ada harapan bagi kita semua.

Ia tidak memilih lahir sebagai anak raja atau anak keluarga kaya. Ia tidak memilih menjadi penguasa dan mengumpulkan kekayaan ( walaupun Dia mempunyai peluang besar untuk itu ). Bagi Dia tidak ada yang lebih berharga untuk dimiliki dan dipertahankanNya, termasuk nyawaNya sendiri, selain ‘domba-domba’ milikNya, yaitu kita yang menerima penebusanNya.

Dan sesungguhNya Ia ingin agar kita mengikuti jejakNya, dan itulah syarat menjadi untuk muridNya. 1 Petrus 2 : 21, Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejakNya

Apa yang menurut kita paling berharga saat ini, yang bisa menghalangi kita menjadi muridNya ? Mobil ? Uang ? Handphone ? Jabatan ? Karier ? pekerjaan ? Pasangan ? Teman ? atau apa ? Jika kita memperlakukan itu sebagai prestis, tidak rela jika suatu saat kehilangannya, dan menganggapnya lebih berharga daripada pengenalan akan Allah dan kehendakNya, maka kita tidak layak menjadi muridNya.

Sesungguhny tidak ada yang kita miliki di dunia ini, bahkan diri kita sendiri. Segala sesuatu adalah milikNya.

Roma 14 : 8, Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.

Yang layak untuk kita kejar, dimiliki, dan pertahankan, sesungguhnya adalah pengenalan akan Kristus itu sendiri, bukan harta dan ambisi duniawi. Itu sifatNya kekal.

Filipi 3:8, Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus

Comments

Popular posts from this blog

Masih Adakah Pewahyuan Sekarang Ini?

Sebuah Biografi Singkat Mengenai Kehidupan John Wesley

Pengertian Kelahiran Kembali (Regenerasi) dan Efek yang mengikutinya