Apa yang sudah kita korbankan (bagian 1) – Verga Agustinus

Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." Kej 15:6

Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah? Yakobus 2 : 21

Saya pernah membaca kesaksian tentang beberapa orang yang selamat dari tenggelamnya sebuah kapal. Dalam sebuah sekoci yang penuh sesak, mereka terombang-ambing di tengah badai dan gelombang samudera yang ganas. Maka demi meminimalisir resiko ditelan gelombang, mau tidak mau mereka harus mengurangi beban dengan membuang segala barang-barang dan harta benda yang mereka bawa, apapun itu, harta yang dianggap paling berharga sekalipun. Dan mereka melakukannya, karena mereka lebih mengasihi nyawanya daripada harta bendanya. Adakah yang tidak demikian ? Hanya orang bodoh yang lebih mengasihi harta daripada nyawanya. Jika dihadapkan pada situasi meregang nyawa, maka seseorang rela mengorbankan apapun demi menghindarkan diri dari kematian yang dianggapnya menakutkan.

Ayah kawan saya yang terbaring di rumah sakit karena kanker, rela mengorbankan tabungannya, mobilnya, rumahnya, demi untuk membayar biaya operasi yang berjuta-juta, walaupun seringkali hasilnya nihil. Tapi adakah orang yang sebesar Abraham ? Abraham sama sekali tidak dihadapkan pada situasi darurat apapun. Ketika Tuhan memerintahkannya keluar dari negeri Ur menuju tanah yang dijanjikanNya, maka Abraham rela melakukannya sekalipun harus melakukan perjalanan yang sangat panjang, berbahaya, dan melelahkan, membawa seluruh sanak keluarga, sahabat, dan segala harta benda. Walaupun mungkin saat itu terbersit keraguan menghadapi ketidakpastian. Abraham rela menuruti perintah Tuhan untuk menyembelih anaknya sendiri, yang telah dinantinya selama puluhan tahun, sebagai kurban. Abraham melakukan semua perintah Tuhan, ( sekalipun bertentangan dengan common sense, dan mengorbankan kemapanan ) atas dasar kasihnya semata kepadaNya. Dan tindakan pengorbanannya itulah yang disebut iman sejati, bukan sekedar pengakuan, seperti yang sering kita lakukan.

Bagaimana jika kita yang menjadi Abraham ? ‘Oh, kau bodoh sekali, apakah kau sudah gila ? demiTuhan, pakailah akal sehatmu !’, demikian kata saudara, sanak keluarga, dan sahabat-sahabat kita. Dan kitapun menjadi ragu, lalu batal melakukannya, karena hal itu berlawanan dengan common sense, selain, tentunya, mengorbankan kenyamanan, kemapanan, harga diri, jaminan masa depan. Sekalipun kalau di gereja kita berkata, ‘kuserahkan segenap hidupku kepada Tuhan’, dengan tangan terangkat, dan tetesan air mata.

Sebenarnya, apa yang Tuhan minta dari kita ? Tuhan belum meminta pengorbanan yang muluk-muluk dari kita. Saat ini Dia cuma meminta kita untuk mematikan televisi, menghentikan kegiatan-kegiatan yang tidak berguna, bahkan pekerjaan anda sejenak. Dia rindu berkomunikasi dengan kita. Dia rindu agar kita mengenalNya lebih dalam, dan kehendakNya, bukan sekedar nyanyian, slogan, dan pengakuan retorik. Dan itu semua ada dalam FirmanNya. Itulah hal yang Diaanggap paling utama dalam hidup kita, diatas segala hal yang kita anggap utama, sebagaimana yang Dia katakan kepada Marta dan Maria ( Lukas 10 : 38 – 42 ).

Tuhan tidak meminta pengorbanan seperti Abraham. Ia cuma meminta kita untuk menghentikan sifat konsumtif kita, dan mengalihkannya kepada orang-orang miskin yang lebih membutuhkan. Dia cuma meminta kita untuk mengalihkan sejumlah uang yang biasa kita gunakan untuk membeli handphone terbaru, fashion terbaru, mobil/motor, hiburan dunia, dan segala hal yang kita anggap bisa menaikan prestise dan penghiburan sesaat, untuk diberikan kepada saudara, jemaat, yang sedang sakit parah, yang tidak mampu membiayai pengobatan di rumah sakit. Atau membantu modal usaha teman/saudara yang di PHK. Atau memberi santunan kepada tetangga yang tak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya. Memberi untuk misi, dan pelayanan social gereja.

Tuhan hanya ingin agar kita menurunkan ego dari takhta hati kita, lalu menempatkan Dia di takhta tertinggi, lalu kepentingan bersama pada takhta berikutnya. Dan Tuhan ingin motivasi yang tulus, yaitu kasih kita semata kepadaNya. Bukan motivasi sukses dunia, atau mendapat tempat yang tinggi di Kerajaan Sorga.. Tidak ada jaminan untuk hal-hal itu. Berilah sekalipun tidak dibalas, sekalipun kita merugi karenanya. Sekalipun mengorbankan tabungan dan jaminan masa depan kita. Dan itupun semua pada akhirnya kembali demi untuk kebaikan kita juga karena,

‘sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk kerajaan sorga ( Matius 19 : 22 ).

‘Demikian pulalah tiap-tiap orang diantara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu’, ( Lukas 14 : 33 ). Oleh karena itu, ‘jikalau kamu ingin sempurna, pergilah, jualah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di
sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku’, ( Matius 19: 21 ).

Adakah di zaman ini orang-orang seperti itu ? Ada. Diantaranya adalah Francis Chan. Berikut adalah kutipan darinya, seorang hamba Tuhan yang tidak mengumpulkan harta di bumi dan malah memberikannya kepada orang-orang miskin :

Someone asked me recently why I don't save money for emergencies, or retirement. My answer was how can I justify saving for myself "just in case" something happens to me when something IS happening to so many already. 29,000 kids will die today of preventable causes. If I'm to love my neighbor AS myself, why spend so much time worrying about me? – Francis Chan

Matius 22 : 37 – 39,
kasihilah Tuhan, AllahMu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, itulah hokum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri..

Comments

Popular posts from this blog

Masih Adakah Pewahyuan Sekarang Ini?

Sebuah Biografi Singkat Mengenai Kehidupan John Wesley

Pengertian Kelahiran Kembali (Regenerasi) dan Efek yang mengikutinya